Wasiat Untuk Pemanjat Tebing Di Nusantara : Pentingnya Baik Hati Kepada Alam

Bagi jutaan orang yang telah menekuni olahraga panjat tebing, tebing adalah tantangan, teka-teki vertikal diselesaikan hanya dengan penempatan tangan dan kaki yang tepat. Namun, perhatikan baik-baik, celah-celah dan retakan yang menyediakan pegangan dan pijakan juga menyediakan rumah bagi berbagai tanaman, invertebrata, dan spesies lain yang sering dan mudah diabaikan.

 

Bagi orang yang berpartisipasi dalam olahraga di luar ruangan seperti panjat tebing ini mungkin tidak memikirkan dampak lingkungan dari apa yang mereka lakukan. Lagi pula, seberapa besar sih dampak yang bisa ditimbulkan oleh satu orang terhadap batu? Sebenarnya tetap ada potensi bahaya, catat ahli ekologi Andrea Holzschuh dari Universitas Würzburg di Jerman. Dia menemukan bukti kerusakan tersebut. Namun bagaimanapun juga, itu adalah sebuah tantangan. Hal-hal yang membuat beberapa tebing menyenangkan untuk didaki atau tidak, juga akan membuat penelitian yang rumit.

 

Holzschuh menjadi tertarik pada beberapa efek yang diakibatkan pemanjat tebing terhadap lingkungan, sebagian dilatarbelakangi karena dia sendiri adalah pendaki sekaligus pemanjat tebing. Sebagian penelitian itu berobjek pada tebing batu di wilayah Frankenjura di Jerman, yang terkenal memiliki beberapa pendakian terbaik di Eropa. Tumbuhan, hewan, dan spesies lain yang juga menjadikan tebing sebagai rumah mereka, catatnya. Seringkali itu merupakan spesies spesial yang telah menemukan cara untuk beradaptasi dan bahkan berkembang dalam kondisi ekstrem yang ditemukan di permukaan batu. Mereka mungkin jarang atau sama sekali tidak ada di tempat terdekat, dan mereka sering tumbuh lambat dan jumlah rasio mereka yang mampu tumbuh sedikit sekali. 

 

Dan kemudian datang para pendaki, yang mungkin menginjak-injak apa yang tumbuh di dasar tebing, menggali apa pun yang tumbuh di celah untuk mendapatkan pegangan yang lebih baik, menyebarkan spesies yang bukan asli daerah tersebut atau mengotori permukaan batu dengan kapur, mengubah pH atau kondisi nutrisi untuk apa pun yang tumbuh di sana. Panjat tebing tidak bisa "bebas dampak" begitu saja seperti yang diperkirakan beberapa orang.

 

Tetapi para ilmuwan belum benar-benar mampu menilai dampak itu secara memadai. Holzschuh pergi mencari beberapa variabel penelitian tentang topik ini dan hanya menemukan 22 studi yang menguji bagaimana kegiatan panjat tebing ternyata dapat mempengaruhi tanaman atau hewan. Kemudian dia membuang atau mengeliminasi enam dari studi tersebut karena penelitian tersebut gagal membuat perbandingan dengan area yang belum didaki atau memiliki masalah pokok utama lainnya yang membuat tidak mungkin untuk menghilangkan faktor akibatnya. 16 studi lainnya menemukan berbagai dampak pada organisme mulai dari lumut kerak, siput, hingga pohon cedar. 

 

Tapi apa yang benar-benar disoroti oleh ulasan ini adalah betapa sulitnya mempelajari potensi dampak dari kegiatan panjat tebing ini. Holzschuh mengatakan tantangan besarnya adalah menemukan wajah tebing yang belum didaki untuk dibandingkan dengan tebing yang sering dipanjat yaitu tebing yang memiliki ciri-ciri seperti kemiringan dan seberapa banyak sinar matahari yang didapat dari bagian sisi muka tebing tersebut. “Seringkali, semua tebing di suatu daerah yang menarik bagi pemanjat saja yang didaki, dan hanya tebing yang tidak menyerupai tebing yang didaki. Namun ada pula tebing yang terdapat di dalam semuanya bersifat abiotik (tidak adanya organisme hidup) yang ternyata tetap tidak didaki,” katanya. “Maka tidak ada penelitian yang dapat diandalkan yang dapat dilakukan.”

 

Lalu selanjutnya, tentu ada banyak beberapa macam jenis tebing yang tidak dapat diakses oleh pemanjat dan pemanjat tebing cukup sulit untuk mempelajari bahkan juga kepada tebing yang sudah dapat diakses sekalipun. “Berapa banyak orang yang memiliki keterampilan ini dan fleksibilitas untuk mengerjakan proyek-proyek ini?” kata Michael Tessler dari American Museum of Natural History (Museum Sejarah Alam Amerika) dan Universitas Fordham. Selain itu, ia mencatat bahwa bagian jenis dari panjat tebing yang disebut Bouldering dimana pemanjat mengatasi rintangan batu-batu besar atau tebing pendek berukuran kurang dari 3,5 meter, yang mana mereka memanjat tanpa menggunakan tali pengaman ternyata itu juga sangat populer di kalangan pemanjat tebing usia muda. Walaupun beberapa profesor secara inheren mengatakan "tidak selalu anak muda,” katanya. Pemanjat tebing tersebut mengatasi rintangan batu-batu besar atau tebing pendek dengan teknik-teknik khusus dimana objeknya berukuran kurang dari 3,5 meter dengan tanpa menggunakan tali pengaman. 

 

Michael Tessler dan rekannya Theresa Clark dari University of Nevada, Las Vegas menerbitkan analisis pertama yang mencoba mengukur dampak bouldering terhadap lingkungan. Jenis panjat tebing ini memiliki potensi kerusakan ekosistem yang sama seperti panjat tebing dengan tali, mereka mencatat dan ditambah beberapa tambahan: para pemanjat Bouldering sering membersihkan tanah di bawah batu dan kayu sehingga mereka dapat menempatkan bantalan atau matras jika jatuh, dan mereka mungkin lebih mungkin untuk menginjak-injak apa pun di atas batu besar atau tebing, daripada turun langsung.

 

Tessler dan Clark mencoba mengukur dampak pendaki di rute bouldering di Shawangunk Ridge, situs pendakian populer di New York tempat Tessler mendaki. Mereka membandingkan "Transek" atau jalur di rute boulder yang dipanjat dengan transek di sepanjang bagian batuan yang belum dipanjat dan menemukan perbedaan pada lumut, lumut, dan tanaman berkayu. Tak satu pun dari ini menambah ancaman besar, tetapi lembaga konservasi mungkin ingin memantau aktivitas ini di lokasi terpencil dan menutup rute tertentu yang terbukti terlalu populer dan berpotensi terlalu berbahaya bagi apa pun yang tumbuh di sana. 

 

Meskipun kita masih belum bisa mengatakan seberapa besar dampak yang mungkin ditimbulkan oleh pemanjat di lingkungan berbatu yang mereka panjat, ada kebutuhan pasti bagi lebih banyak ilmuwan untuk mengikat sepatu panjat mereka dan menjawab pertanyaan tentang dampak panjat tebing. Sebaiknya perlu dicoba saja. Toh ini itu juga sangat menyenangkan. 

 

"Saya berpikir para pemanjat tebing dapat dengan mudah meminimalkan dampak lingkungannya terhadap vegetasi tebing jika mereka tidak rela menghilangkan vegetasi dari tebing untuk 'mengurangi atau menghindari' tangan dan pijakan di jalur pendakian. Pendaki tidak boleh mengakses dataran tinggi tebing dan harus membiarkan bagian tebing tersebut benar-benar tidak terganggu, ”kata Holzschuh. “Di dasar tebing, tas dan perlengkapan harus diletakkan di dalam area kecil untuk mengurangi efek terinjak-injak.”

 

Tessler juga punya saran. “Pemanjat tebing harus menyadari bahwa pendakian yang jarang sekalipun akan meninggalkan kesan pada vegetasi yang terkait dengan batu,” katanya. “Para pemanjat tebing setidaknya harus menghindari sedikit vegetasi dan permukaan tanah saat mendaki dan juga saat proses pemanjatan tebing." Juga, jika pendakian basah, kotor atau tertutup vegetasi, mungkin pergi ke yang lain. Ini adalah cara mudah untuk memastikan bahwa beberapa permukaan batu dapat tetap lebih alami.”

 

Dan jika pendakian dibatasi karena, katakanlah, burung langka berkembang biak di sana, pemanjat tebing harus mematuhi larangan tersebut dan pergi memanjat ke tempat lain, kata Holzschuh. Ada banyak tebing lain yang harus dipanjat. 

 

Dan menurut saya sebagai penulis, akan sangat bijak dan beretika ketika pemanjat tebing juga sebaiknya atau setidaknya mempelajari atau melakukan riset lingkungan terlebih dahulu, terutama tentang peran vegetasi dan konservasi di area tebing. Itu dilakukan khususnya di lokasi tebing-tebing di Indonesia dimana memiliki kekayaan tebing yang beragam, unik dan spesial. Misalkan kalau di lokasi favorit pemanjat tebing di sebelah selatan Jawa Timur seperti tebing Spikul di Watulimo Trenggalek atau di Tebing Pegat Campurdarat Tulungagung jika dilakukan penelitian vegetasi terlebih dahulu akan lebih baik, terutama riset terukur tersebut dilakukan sebelum melakukan aktivitas panjat tebing sejak dalam fase perencanaan pemanjatan tebing.

 

Akhir kata selamat memanjat tebing saudara-saudaraku pemanjat tebing Indonesia, SALAM LESTARI!!! 

 

 

Foto: Kegiatan Diklat Lanjutan Dan Pengamatan Vegetasi Tebing, oleh: MAPALA MAUNA KEA UNIVERSITAS KADIRI, Kota Kediri, Jawa Timur. 

Suka Artikel Ini? Tetap dapatkan Informasi dengan Berlanggana via email

Comments

You must be logged in to post a comment.

Artikel Terkait
About Author