Rindu

Dia yang memutuskan lanjut. Dia pula membuatku menderita." gerutuku kesal.

Kehidupanku terus bergerak tanpa terlalu banyak berharap kepada Latif. Namun, aku tidak mau terlalu memikirkannya. Biarlah, aku akan berjalan dengan semua kegiatanku.

"Sudah, mungkin Latif memang memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan." imbuh ibu mendengarkan gerutuanku.

"Harusnya dia memberi tahu Zahra, Bu. Zahra tidak mau diperlakukan seperti ini, digantung tanpa kejelasan!"

Sejak keputusan yang diberikan Latif, aku merasa memiliki impian melihat Ka'bah kembali. Namun, semakin aku memikirkannya, semakin terasa sulit untuk mewujudkannya.

"Jika sampai bulan depan tetap tidak ada kejelasan dari Latif, maka Zahra akan menghentikan prosesnya, Bu," ucapku tegas.

Aku tidak mau digantung. Jika Latif mau mengatakan kesulitannya, maka aku akan memakluminya. Namun, aku tidak mendapatkan kabar dari bu Hanum tentang Latif. Bu Hanum tetap mengaji seperti biasa.

"Ustadzah, maaf sekali. Sampai saat ini Latif tidak memberikan kabar apapun kepada saya. Sabar ya, Ustazah." pinta bu Hanum kepadaku.

Bu Hanum seperti mengetahui pikiranku. Aku melihat keraguan saat bu Hanum  mengucapkan kalimat itu. Aku tidak bisa mengatakan apapun. Hanya senyum tipis yang bisa mewakili hatiku.

"Saya sih tidak masalah, Bu. Hanya saja, alangkah baiknya kalau mas Latif mengatakan kendalanya. Ini sudah lebih dari setengah tahun, Bu." ungkapku sedikit takut.

"Iya, Ustazah. Saya juga bingung. Kemarin Latif sendiri yang mengatakan akan memproses semua dengan cepat. Eh, sekarang malah tidak ada kabar."

Ternyata bu Hanum juga memperhatikan dan menghitung waktu yang telah berjalan, mulai dari pertemuan pertama sampai sekarang. Waktu yang lumayan panjang untukku. Mungkin pemikiran Latif berbeda denganku. Bisa jadi dia membutuhkan tambahan waktu untuk menjadikanku istrinya.

"Baiklah, Bu. Jika memang mas Latif belum memberikan kejelasan dan tidak mengatakan kendalanya, maka dengan berat hati bulan depan saya akan menghentikan proses kami." jelasku.

Bu Hanum tidak bisa mengatakan apapun. Dia hanya mengangguk. Dia kesal dengan kelakuan keponakannya.

 

***

"Zahra tadi sudah mengatakan semuanya kepada bu Hanum, Bu." ucapku sepulang dari mengaji di rumah bu Hanum.

Aku duduk di ruang tamu dan mengambil segelas minum air  di dekatku. Aku mencoba menata hati untuk bisa mengatakan semuanya kepada wanita yang sangat kucintai. Aku tidak ingin kegelisahan yang selama ini aku alami akan berdampak pada ibu dan ayah.

"Zahra takut, semakin lama proses ini Zahra akan semakin terobsesi dengan keinginan Zahra. Namun, jujur Zahra menyesal telah bertemu Latif. Latif sudah membuat impian Zahra menjadi kandas."

"Jangan berkata seperti itu, Zahra. Ibu yakin akan ada hikmah dari keputusanmu ini."

Ibu sangat mengerti dengan sikapku. Aku tidak akan memutuskan itu kalau masih bisa dibicarakan dengan baik. Namun, Latif membuat hati, pikiran, dan perasaanku tersiksa.

"Zahra harus ingat, kadang kita diuji dengan apa yang tidak baik menurut kita. Namun, seiring waktu berlalu, kita akan menyadari bahwa yang tidak baik itu akan memberikan keberkahan dalam kehidupan kita."

Aku memeluk ibu. Wanita lembut yang selalu menguatkanku ketika aku jatuh dan butuh penyangga. Ibu yang selalu menyemangatiku lewat kata-katanya.

 

Aku menangis di dalam pelukan ibu. Tangannya yang membelai rambutku memberi kehangatan di dalam hatiku. Aku mencoba tegar dalam menghadapi keputusan yang telah aku buat.

"Zahra, nanti mau nggak Ibu kenalkan dengan seseorang. Dia anak teman Ibu dan baru pulang dari rantau. Ibunya menyuruhnya pulang karena sudah tidak bertemu. Kakak-kakaknya sudah menikah semua."

Ibu melepaskan pelukannya dan menatap mataku. Dengan mata yang masih berair, aku mencoba mengangguk dan tersenyum. Mungkin inilah jalan agar aku melupakan Latif.

"Jika Zahra mau, besok atau lusa Ibu akan mengenalkanmu dengannya. Ibu pernah sekali melihat anak itu sewaktu dia mengantarkan ibunya ke rumah sakit. Kamu ingat waktu  kamu bertemu dengan Latif, Ibu tidak bisa menemanimu karena sudah janji membesuk teman ibu? Nah, dia ada di sana. Sepintas yang Ibu lihat, dia anaknya baik, tatapan matanya teduh. Mungkin kalian akan menjadi pasangan yang cocok."

Aku mendengarkan semua yang Ibu sampaikan tanpa memotong pembicaraannya. Sesekali aku mengangguk dan menjawab 'iya' saat Ibu meminta jawaban. Hatiku masih bergemuruh. Semua yang telah terjadi bagaikan mimpi semalam, yang akan hilang seiring dengan terbitnya matahari.

Sebenarnya, aku ingin seperti ibu dan ayah, menikah tanpa proses yang panjang. Apalagi yang aku tunggu, kegiatan harianku tidak terlalu banyak. Aku hanya mengajar di sore hari. Setelahnya, tidak banyak kegiatan yang aku lakukan. Aku berpikir dengan menikah, aku bisa memiliki kegiatan lain. Tentu saja menikah akan membuat aku bahagia.

"Zahra istirahatlah dulu ya. Pikirkan semuanya dengan baik. Ibu tidak memaksa untuk berkenalan dengan anak itu. Keputusan ada di tangan Zahra." pungkas ibu sambil menutup pintu kamarku.

Aku seperti dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Hati kecilku masih mengharapkan Latif, tetapi aku tidak mau meneruskannya lagi. Aku berharap perkenalanku dengan anak temannya ibu dapat mengobati kegundahan hatiku.

Aku membaringkan tubuhku. Capek memikirkan suatu proses yang tidak jelas arahnya. Komunikasi yang baik pun tidak terjalin antara aku dan Latif. Aku merasa seperti menginginkan udara segar dan menangkapnya. Namun, aku tidak bisa mendapatkannya di tempatku berada sekarang.

Kuambil air wudu dan segera menunaikan sholat isya yang belum sempat kutunaikan di rumah bu Hanum tadi. Dengan berlinang air mata, aku mengadukan semua keluh kesahku dan kututup dengan sebait doa.

"Ya Allah, ampuni aku yang terlalu mengharap kepada selain-Mu. Semoga Engkau berikan pengganti yang terbaik menurut pilihanmu."

 

 

Suka Artikel Ini? Tetap dapatkan Informasi dengan Berlanggana via email

Comments

You must be logged in to post a comment.

About Author

Seseorang yang hanya suka menulis.