Argumen Atau Ide Tentang Pendidikan Linier Yang Mungkin Bermasalah. Bukankah Pendidikan Mestinya Yang Membebaskan?

Kondisi tersebut adalah potret tata kelola pendidikan yang menempatkan edukasi dalam bingkai industrialisasi: "link and match" antara dunia pendidikan dan dunia industri. Sistem dengan tata kelola semacam ini mendorong lahirnya orang-orang dengan cara pandang yang tersekat-sekat. Adakah model pendidikan di mana perkembangan pengetahuan diukur justru dari kemawasan atau wawasan kita atas berbagai bidang ilmu? Dahulu kala, model seperti itu kita temukan dalam visi tentang "Manusia Renaisans", yakni visi yang melahirkan intelektual dan juga seniman serba bisa seperti Leonardo Da Vinci, atau akademisi lintas disiplin seperti Descartes, Leibniz, Immanuel Kant dan para filsuf zaman modern. Visi "Manusia Renaisans" inilah yang juga ditekankan Ki Hajar Dewantara dengan konsep pendidikan sebagai "Olah Pikir, Olah Rasa, olah Olah Karsa" , yakni suatu model pendidikan holistik (utuh) yang non-linear. Di sini penulis mencoba berargumen mengapa kita perlu kembali kepada model pendidikan lintas disiplin seperti itu.

 

Di dalam dunia pendidikan modern kita mengenal ide tentang linearitas yaitu: "bahwa pendidikan itu seyogyanya dijalankan menuju kearah spesialisasi dari yang semula sifatnya umum lalu naik jenjang yang lebih tinggi kita menjadi lebih khusus. Pengetahuan kita lebih spesialis. Di sini penulis mencoba menunjukkan bahwa argumen atau ide semacam itu sebetulnya bermasalah atau sangat bermasalah. 

 

Filsafat pendidikan yang hanya menekankan linearitas adalah sebetulnya dilandasi oleh suatu asumsi tentang industrialisasi pendidikan. Dan ini berkaitan erat dengan apa yang dikenal sebagai hilirisasi pendidikan yaitu bahwa pendidikan itu harusnya lebih tersambung dengan kepentingan yang nantinya akan dibutuhkan di dunia kerja dan khususnya di dunia industri. 

 

Jadi apa yang lebih ditekankan adalah apa yang disebut "link and match", yakni kecocokan antara jasa yang dihasilkan dalam arti ini berarti kompetensi dan yang lainnya dengan jasa yang dibutuhkan oleh dunia industri. Dimana ketika keduanya itu nyambung maka kita akan memperoleh link and match antara dunia pendidikan dan dunia industri. 

 

Akan tetapi sebetulnya itu adalah hal yang menyempitkan pengertian pendidikan. Pendidikan bukan hanya sekedar membuat kita memiliki satu keahlian atau kecakapan teknis untuk mengerjakan sesuatu. Pendidikan itu bukanlah semata urusan pemerolehan skill atau pemerolehan kemampuan atau kecakapan teknis itu. Akan tetapi jauh lebih mendasar dari itu adalah kesadaran untuk bersikap terhadap dunia ini. Memiliki sikap sendiri, memiliki pikiran sendiri, bisa merasakan sesuatu yang ada di luar kita atau berempati pada dunia di sekeliling kita. Kita bisa mengarahkan tindakan kita itu kepada tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat umum. Jadi ada dimensi-dimensi yang menghilang ketika pendidikan itu hanya di kerangka-i atau dipersepsi dalam rangka kesesuaian dengan kebutuhan Industri atau kebutuhan lapangan kerja. 

 

Dalam hal ini kita mungkin perlu belajar lagi dari sejarah atau konsepsi pendidikan yang berkembang di dunia yang dimana salah satunya adalah pada konsep tentang "Manusia Renaisans". Kita tahu bahwa zaman Renaisans itu adalah suatu periode dimana intelektualitas itu melonjak sedemikian tinggi di Eropa di abad ke 15-16 yang memungkinkan perubahan dan peralihan yang sangat cepat dari tradisi dari abad pertengahan ke masa pencerahan dan modernitas. Terdapat ciri khas dari manusia era Renaisans atau intelektual yang hidup pada era tersebut adalah jenis intelektual yang serba bisa. Mereka itu biasanya adalah juga sebagai pelukis, arsitek dan bisa ahli dalam hal matematika, fisika, dalam politik, bahkan biasanya mereka juga penemu. Seperti misalnya Leonardo Da Vinci yang dia menemukan mesin terbang dan lain sebagainya. 

 

Orang yang hidup atau mengembangkan satu model pendekatan renaisans itu adalah sebetulnya orang yang mempelajari segala macam aspek dari hidup ini, tidak hanya satu segi saja. Tetapi semua itu bukan hanya berpikir tentang dunia, tetapi juga merasakan dunia. Itu dikarenakan mereka bukan hanya teoritis atau ahli dalam bidang ilmu-ilmu dalam pengertian sains, tetapi juga mereka adalah seniman. Mereka merasakan secara langsung dunia ini mengolah bagaimana rasa itu bisa diartikulasikan untuk menghasilkan efek-efek artistik tertentu. Jadi cara mereka menghidupi dunia ini begitu lengkap atau utuh yang menangkap dari semua sisi-sisinya. 

 

Konsepsi Manusia Renaisans ini memang muncul pada suatu masa ketika pembelahan atau pembedaan antara cabang-cabang ilmu itu belum ada. Belum ada waktu itu pengkotakan misal ilmu fisika, ilmu biologi, ilmu kriminologi, ilmu Filsafat atau segala macamnya. Semuanya itu menjadi satu yaitu menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai filosofia atau filsafat, tetapi dalam pengertian yang umum. Di situlah mereka sebetulnya bekerja, dan dalam konteks itu sebenarnya juga disebabkan karena tidak adanya sekat-sekat antara cabang-cabang ilmu, jadi mereka bebas berkelana ke mana saja secara pemikiran secara perasaan dan apapun saja. Sehingga mereka bisa menghadirkan suatu potret yang sifatnya itu Komprehensif tentang dunia atau dalam istilah lain yang sifatnya itu merangkul semua unsur dari dunia ini tanpa dikecualikan satu sama lain. 

 

 Banyak sekali pemikir modern awal (sekitar abad ke-17) yang masih mewarisi tradisi pemikiran Renaissance ini, yaitu orang seperti misalnya Rene Descartes, dimana dia seorang filsuf yang ahli dalam hal fisika tetapi juga ahli dalam

 

hal matematika dan lain-lainnya. Lalu tokoh seperti Gottfried Leibniz di awal abad ke-18 misalnya, dia juga punya kecenderungan yang sama dimana dia bisa alami berbagai macam isu mulai dari ilmu biologi sampai strategi militer bahkan ilmu tentang cara menghitung undian atau matematika probabilitas dan lain sebagainya. Jadi sebenarnya begitu banyak keahliannya, dan konsep tentang keahlian sebagai spesialisasi itu belum ada di zaman itu. Di waktu itu orang yang disebut ahli adalah orang yang Bijaksana, sedangkan orang yang bijaksana itu adalah orang yang bisa mengetahui berbagai macam aspek dari kenyataan. Jadi bukan berarti bahwa orang itu tahu segala sesuatu, tetapi bahwa dia bisa merasakan segala sesuatu tersebut, bisa tahu prinsip-prinsip pokoknya seperti apa, dan karena hal itu akhirnya bisa mencari cara untuk tahu tentang berbagai macam hal tersebut. 

 

Namun model manusia renaisans ini perlahan-lahan lenyap dan punah ketika ilmu-ilmu semakin ter-spesialisasi atau terbedakan satu sama lain. Orang belajar ke arah masing-masing dengan spesialisasi masing-masing. Bahkan dengan perkembangan abad ke-20 ini konsep spesialisasi itu semakin menjadi-jadi. Kalau kita bicara jurnal misalnya, Akreditasi jurnal itu akan semakin tinggi kalau itu semakin spesifik sifatnya. Misalnya tidak cukup hanya "jurnal biologi", tapi harus lebih spesifik lagi contohnya meneliti tentang "jamur". Mulai dari satu spesies jamur, kalau bisa lebih spesifik lagi malah akan semakin tinggi akreditasinya. 

 

Jadi ini adalah suatu pola pikir yang menghormati spesialisasi ketimbang generalisasi atau keumuman. Dan ini adalah pola pikir yang dibaliknya kita bisa menduga ada kepentingan yang dari awal lalu yaitu ketersambungan dengan industri. Sedangkan pada masa renaisans kesadaran tentang industri dalam pengertian yang spesialisasi itu belum ada. Akan tetapi relevansi dari konsep pendidikan manusia renaisans sebetulnya tidaklah sepenuhnya hilang. Karena gagasan dasarnya atau awalnya sesungguhnya masih bisa kita pertahankan, intinya kan bahwa kita itu dilatih atau belajar untuk menjadi manusia dalam arti seutuhnya. Bukan manusia yang Parsial. Manusia yang hanya ahli di bidang satu varietas jamur yang keseluruhan hidupnya didefinisikan oleh jamur yang dia teliti. Yang kita butuhkan adalah manusia yang bisa mengapresiasi berbagai macam aspek dari hidup ini. Yang punya kesadaran bahwa segala hal ini menarik untuk dipelajari. Bahwa kita tidak hanya fokus pada satu bidang yang sangat spesifik tetapi kita juga membuka ruang pada eksplorasi yang sifatnya lintas disiplin ilmu. Dan itulah yang sebetulnya hilang ketika kita bicara tentang linearitas di dalam pendidikan.

 

Dan filsafat pendidikan kita rasanya juga perlu kita Re-orientasi atau kita ubah. Namun dalam hal ini sebenarnya bukan sekedar meniru satu model pendekatan pendidikan Barat, Renaissance Eropa atau yang lainnya. Karena dalam konteks pendidikan kita sendiri, dalam falsafah pendidikan Indonesia muncul orang seperti "Ki Hajar Dewantara" yang juga menekankan bahwa pendidikan itu bukan sekedar masalah Olah Pikir, tapi juga Olah Rasa dan Olah Karsa atau olah kehendak. Dan bagaimana cara ketiganya itu menyatu di dalam sebuah proses pendidikan, itulah yang lebih penting. Dengan kata lain, yang ditekankan oleh Falsafah Pendidikan Nusantara atau Falsafah Pendidikan Ki Hajar Dewantara itu adalah suatu model pendidikan yang holistik yang mengedepankan manusia sebagai satu keutuhan. Entah keutuhan pengalaman manusia, mulai dari pengalaman artistik, pengalaman kognitif, pengalaman dalam hal emosi, dan lain sebagainya itu menjadi satu. "Nimbrung" semuanya sekalian di dalam satu pengalaman manusia. 

 

Jadi kita tidak perlu membeda-bedakan antara Renaisans itu gaya barat, sedangkan Ki Hajar Dewantara ada di Indonesia atau bumi belahan sebelah timur seperti itu, karena keduanya ini sebenarnya memiliki Korespondensi satu-sama lain. Keduanya menghendaki hal yang serupa, dan hal yang serupa inilah yang selama puluhan tahun di era modern ini sedang tergerus oleh arah pada spesialisasi tadi. Kita perlu mengembalikan lagi suatu kesadaran bahwa pendidikan itu adalah untuk membentuk manusia seutuhnya, atau memungkinkan orang itu mengalami berbagai macam aspek hidup secara lebih leluasa dan bisa menyikapi dari sudut pandang yang berbeda. 

 

Hasil kalu itu bisa dilihat atau bisa diwujudkan adalah suatu model manusia yang lebih terbuka. Dimana model pendidikan atau peserta didik yang cara pandangnya itu tidaklah "saklek" atau kaku, akan tetapi bisa memiliki keleluasaan atau kelonggaran untuk menimbang memikir-mikir dan mengambil kesimpulan yang berbeda. Dan itu menurut saya adalah hal yang sangat berharga dalam filsafat pendidikan kita. Jikalau itu bisa menjadi Arus Utama, tentunya akan menjadi suatu perubahan yang sangat Fundamental di dalam cara kita berpikir sebagai Bangsa. 

Suka Artikel Ini? Tetap dapatkan Informasi dengan Berlanggana via email

Comments

You must be logged in to post a comment.

About Author