Hari-hari ini kita biasa mendengar ungkapan "Berpikir Di Luar Kotak" (Out Of The Box)" dan "Pemikiran Desain" (Design Thinking)" yang katanya menawarkan cara bernalar non-mainstream. Ungkapan-ungkapan itu mengemuka dalam materi Critical Thinking yang sekarang mulai diajarkan di tingkat kuliah. Namun semua itu adalah bentuk pengenceran dan pengemasan baru dari filsafat sebagai disiplin berpikir kritis yang sudah dikenal lebih dari 2000 tahun yang lalu. Kemampuan berpikir kritis ini tidak cukup hanya diajarkan di tingkat perguruan tinggi. Di sini penulis akan berargumen bahwa sikap kritis semestinya ditumbuhkan sejak muda, yakni waktu pikiran kita belum tersekat-sekat ke dalam bidang-bidang studi khusus yang menandai dunia akademik pada tingkat perguruan tinggi. Kita perlu belajar berpikir mandiri sejak dini. Dan itu tidak hanya berarti berpikir "Problem Solving" tetapi juga penciptaan problem secara kreatif. Sebab sumbangan paling berharga dari sikap kritis adalah keberanian untuk mengakui "Aku Tahu Bahwa Aku Tidak Tahu" sehingga dari situ muncul upaya untuk mencari tahu lebih jauh.
Lalu apakah sebetulnya "Critical Thinking" itu? Dan apakah disiplin ini perlu dipelajari di tingkat Universitas atau Perguruan Tinggi? Ataukah justru sebetulnya jauh sebelum itu? Di sini penulis akan mencoba mengupas perkara terkait hal tersebut. Hari-hari ini kita latah bicara soal berpikir "Outside The Box" atau berpikir diluar pakem, di luar kelaziman, dan atau di luar mainstream. Tapi apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan berpikir di luar mainstream? Seorang filsuf seperti "Immanuel Kant" Pada abad ke-18 mendefinisikan apa yang disebut sebagai "Sikap Kritis" atau sikap yang memiliki pencerahan budi Itu adalah suatu sikap yang berani berpikir sendiri. Jadi ketika kita mencoba menjawab suatu masalah kita tidak mencari-cari jawaban atau pegangan pada pendapat terdahulu tetapi merumuskannya sendiri.
Namun yang dimaksud dengan berpikir sendiri tidak bisa dilepaskan dari tradisi pemikiran, dimana seseorang tidak mungkin berpikir secara mandiri kalau dia tidak pernah mempelajari pemikiran-pemikiran orang sebelum dia. Tetapi pada prinsipnya apa yang diketengahkan oleh "Immanuel Kant" adalah bahwa kita perlu mengembangkan suatu sikap yang berani mengambil posisi pemikiran sendiri tidak hanya mengulang apa yang dikatakan oleh para pendahulu kita. Yang mana kita tahu bahwa ada pemikiran-pemikiran yang berkembang sejauh ini dibidang apapun yang kita sedang mau bicarakan dan kita menyikapi posisi pemikiran yang terdahulu itu dengan sikap kita sendiri.
Akan tetapi pemikiran kritis itu tidak bisa disamakan dengan semacam sikap yang mau mengkritik segala sesuatu atau apa yang dikenal sebagai "Contrarian", misalkan ada orang berpendapat "A" dia berpendapat bukan "A", atau ada orang berpendapat "B" dia berpendapat bukan "B". Jadi bukan Contrarian seperti itu, tetapi mencoba menimbang secara mandiri: "Apakah manfaat, kekurangan atau kelebihan dari suatu argumen dan kemudian bisa memutuskan mana yang lebih layak dipercaya." Itulah yang dimaksud dengan sikap kritis.
Untuk sebagian kalangan sikap kritis itu kedengarannya negatif karena kritisisme atau kritik itu biasanya diartikan atau disamakan dengan protes. Jadi orang yang kritis itu artinya orang yang banyak protesnya. Enggak mau ini, enggak mau itu, atau mempermasalahkan ini, mempermasalahkan itu, dan sebagainya. Padahal inti dari sikap kritis sebenarnya adalah kemampuan untuk memilah satu argumen lalu menyikapinya secara dewasa dengan berbekal pada suatu tradisi pembacaan atas berbagai pemikiran yang ada sebelum kita. Dan sikap kritis ini juga tidak bisa disamakan dengan semacam pola pikir yang "End Results Oriented" atau yang berorientasi pada hasil akhir. Atau juga sikap yang mengutamakan "problem solving" atau memecahkan suatu masalah. Jadi kecenderungan praktis seperti itu tidak sepenuhnya sama dengan sikap kritis. Karena sebenarnya bersikap kritis itu jauh lebih mendasar lagi. Sedangkan Problem Solving sifatnya adalah kita punya masalah lalu bagaimana kita mencari jawaban terhadap masalah itu yang bisa memecahkan masalahnya.
Sementara kalau sikap kritis itu pertama-tama adalah mempersoalkan dulu apa masalahnya, karena bisa saja jangan-jangan apa yang kita anggap masalah itu bukanlah masalah yang sesungguhnya. Atau jangan-jangan ada masalah yang lebih mendasar lagi. Untuk bisa bersikap kritis kita dituntut bukan untuk berpikir secara terkotak-kotak atau secara tersekat-sekat. Maka dari itu ada istilah dari "Outside The Box", yang maksud sebenarnya yaitu bahwa kita dalam mempermasalahkan sesuatu atau memikirkan sesuatu itu kita tidak terlebih dulu di-kerangka-i oleh satu paradigma yang 'tidak bisa yang lain'. Misalnya: kita mendekati suatu persoalan dengan kita menggunakan satu paradigma yang kita anggap benar, jadi ketika paradigma ini tidak bisa menyelesaikan persoalan ini maka kita menyimpulkan bahwa persoalan itu memang tidak bisa diselesaikan. Itu cara pendekatan yang keliru dimana masih berpikir di dalam kotak.
Sedangkan kalau kita berpikir di luar kotak atau "Outside The Box" itu berarti kita berpikir tanpa mengandalkan adanya sekat-sekat itu. Dan sekat-sekat antar cabang pengetahuan itu semuanya artifisial (tidak alami) sebab hal tersebut dibuat karena adanya satu proses sejarah yang membuat pembagian kerja di lingkungan Universitas atau di lingkungan pendidikan itu menjadi suatu keniscayaan atau mutlak. Akan tetapi sebenarnya itu tidak perlu-perlu amat atau tidak menjadi landasan yang sifatnya niscaya (tidak boleh tidak), kita bisa mengubah itu dengan mendekati suatu persoalan dengan aneka sudut pandang yang berbeda.
Sikap kritis semacam ini kalau diajarkan di tingkat perguruan tinggi menurut penulis itu akan terlambat, karena pada tingkat perguruan tinggi kita biasanya sudah punya suatu semacam cara pandang terhadap dunia yang fix atau yang sudah terpilih seperti itu. Jadi seringkali sulit sekali diajak untuk ber-eksperimentasi mencoba menggunakan sudut pandang yang berbeda, atau mencoba melihat suatu situasi atau suatu masalah dengan sudut pandang yang lain kalau dilakukan di tingkat perguruan tinggi
Oleh karena itu di banyak kurikulum pendidikan di luar negeri khususnya di barat seperti di Jerman atau di tradisi eropa secara umum itu filsafat sebagai instrumen utama pemikiran kritis tersebut diajarkan pada tingkat SMA. Jadi pada tingkat SMA orang sudah mengenal apa yang dimaksud dengan berpikir kritis dan sudah diajari untuk mau mencoba mendekati suatu persoalan dengan berbagai macam pendekatan yang berbeda. Kenapa filsafat yang digunakan sebagai instrumen utama untuk mengasah sikap kritis ini tentunya adalah karena filsafat itu adalah suatu disiplin kajian yang tidak mengandalkan hafalan. Kita tidak perlu "menghafalkan" teori macam-macam tetapi kita perlu "menalarnya". Misalkan kita mendengar teori itu sekali lalu kita menangkapnya kemudian kita bisa mencoba mengubah teori tersebut lalumemberikan masukan baru. Dan dengan proses itulah kita belajar berpikir secara kritis.
Dalam filsafat kita tidak terburu-buru memecahkan masalah. Kita mengapresiasi terlebih dahulu masalah itu. Misalnya: masalah tentang hakikat dunia ini. Disitu kita tidak perlu terburu-buru menjawab bahwa hakikat dunia ini adalah A, B, atau C dan seterusnya. Tetapi kita mencoba mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hakikat, apa makna dari kata hakikat, lalu dari situ kita bertanya apakah syarat yang harus dipenuhi sehingga kita bisa mengakses atau mengetahui hakikat tersebut. Jadi syarat-syarat pengetahuan apa saja yang harus ada sehingga hakikat itu bisa kita capai rumusan-nya. Dari sini bisa kita lihat bahwa cara filsafat bekerja mengasah pemikiran kritis itu adalah dengan menunda anggapan-anggapan kita sehari-hari. Seperti halnya kita sebelumnya sudah punya "Prakonsepsi" atau pengandaian tentang bahwa hakikat dunia ini adalah misalnya: seperti yang diajarkan oleh Ilmu Fisika, oleh Agama, oleh orang tua kita, atau oleh masyarakat, dan yang lain sebagainya. Dari situ filsafat mengajak kita untuk mempertanyakan semua itu. Mempertanyakan semua yang sudah diandaikan benar di dalam hidup kita sehari-hari. Mencoba menggali sejauh mana pandangan-pandangan itu benar dan dari dimana batas-batasnya. "Batas" disini dalam pengertian bahwa ketika ada suatu kondisi yang tidak dipenuhi maka anggapan itu tidak lagi berlaku atau tidak bisa lagi dianggap benar.
Jadi dalam hal ini, dengan mempelajari filsafat di tingkat SMA atau sederajat maka kita itu sebetulnya dilatih untuk berpikir sendiri atau memiliki pikiran sendiri. Dalam dunia pendidikan kita sehari-hari kita itu kan biasanya dilatih untuk berpikir sesuai dengan teori. Misal kalau menurut teori "A", jawaban dari persoalan ini adalah "B". Jadi kita itu dilatih agar pikiran kita sesuai satu kerangka tertentu. Sedangkan filsafat itu mengajarkan kita ke arah yang sebaliknya, yaitu bahwa kita perlu merumuskan sendiri pikiran kita untuk menimbang berbagai macam pandangan yang ada itu. Jadi kita tidak perlu buru-buru percaya dan meyakini sesuatu lalu menggunakannya dalam argumen kita dan yakin betul dengan kesimpulan-kesimpulan kita. Kita justru dilatih untuk ragu-ragu dengan kesimpulan-kesimpulan yang diambil dengan cepat tersebut. Seorang filsuf yang paling berpengaruh dalam sejarah yaitu "Socrates" dari Yunani Kuno pernah mengatakan persoalan ini. Dia mengatakan bahwa seseorang yang mempelajari filsafat itu memiliki pengetahuan yang khusus yaitu "bahwa dia tahu kalau dia tidak tahu." Sedangkan orang yang tidak mempelajari filsafat orang yang hidup lempeng aja mengikuti aturan-aturan masyarakat atau teori-teori yang dianggap benar. Mereka itu "tidak tahu bahwa mereka tidak tahu."
Jadi cukup jelas kelihatan perbedaannya. Socrates itu tahu bahwa dia tidak tahu. Atau bahwa dia itu tidak mengetahui segala sesuatu di dunia ini, dia tahu. Sedangkan orang yang tidak belajar filsafat itu bahkan tidak tahu kalau dia tidak tahu. Jadi seperti dia mengira dia tahu segala macam hal di dunia ini padahal sebetulnya dia itu tidak tahu itu. Itu adalah benih dari apa yang disebut sikap kritis, yang mana sikapnya Socrates tadi itu sikap yang menyadari dari awal kalau dia tahu bahwa ada hal yang tak dia ketahui. Dan oleh karena itu dia mencari tahu. Berbeda dengan sikap orang yang tidak kritis yang bahkan "tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, tapi dengan itu dia merasa dia tahu segala sesuatu.
Pada jenjang SMA dan pengajaran sikap kritis seperti ini sangat penting, karena pada tahap itu kita sudah memiliki bekal yang cukup untuk merefleksikan pengalaman kita berdasarkan pengalaman pada saat masih kecil tetapi pengetahuan itu belum cukup solid sehingga membentuk suatu Dogma atau keyakinan tertentu. Jadi masih terbuka kemungkinan untuk mempertanyakan segala sesuatu dan masih ada semangat Kuriositas atau rasa ingin tahu sebagai ciri yang khas muncul pada anak-anak. Dan hal tersebut adalah saat yang tepat untuk memulai berfilsafat yang mengasah pemikiran kritis.
Pada waktu saya SMA, penulis merasakan bagaimana filsafat itu turut membentuk hidup penulis sampai sekarang dan beruntung mendapat bacaan-bacaan filsafat di tingkat SMA, mempelajari sendiri walaupun di sekolah tidak ada mata pelajaran filsafat, dan penulis diam-diam membaca sejarah filsafat di kela, pada waktu pelajaran Matematika, pelajaran Ilmu Sosial, dan lain-lainnya. Dan guru ketika mengetahui penulis membaca sesuatu diluar pelajaran mereka, penulis dihukum disuruh ke perpustakaan, yang mana sama saja dengan memberikan penulis waktu yang leluasa untuk melanjutkan membaca filsafat diperpustakaan. Pada saat itu penulis tidak mengira bahwa Filsafat itu termasuk dalam disiplin akademik, karena tidak ada mata pelajaran yang judulnya adalah Filsafat. Sedangkan mata pelajaran itu kan judulnya ilmu-ilmu atau disiplin-disiplin yang jelas dan tidak ada satupun dari disiplin tersebut yang saya minati. Dan kebetulan penulis berminat pada Filsafat dan kebetulan juga tidak ada dalam kurikulum tersebut sehingga penulis merasa bahwa itu berarti sekedar suatu hobi saja, bukan sesuatu yang punya "Signifikansi" atau sesuatu yang penting bagi jenjang akademik.
Satu hal yang membedakan filsafat dengan pelajaran lainnya adalah bahwa dalam semua pelajaran lainnya itu ada jawaban yang benar, atau ada jawaban yang pasti misalkan kalau kita mengisi jawaban tertentu maka jawaban itu benar, jadi untuk setiap soal ada satu jawaban yang benar. Akan tetapi dalam Filsafat tidak ada yang seperti itu. Kita bisa menjawab apa saja dengan mengasumsikan kondisi-kondisi tertentu. Misalkan: kalau kita menjawab satu soal dengan asumsi: "A", kita bisa menurunkan jawaban yang berbeda kalau misalkan kita menggunakan asumsi: "B", dan kedua jawaban tersebut sama sah-nya, sama diperbolehkannya, dan sama benarnya.
Jadi kembali lagi bahwa semua itu memperkuat sikap kritis kita untuk memandang persoalan dan memandang kehidupan secara umum. Kita jadi lebih rileks karena kita tahu bahwa tidak ada satu jawaban yang benar. Semua jawaban bisa benar asalkan asumsinya terpenuhi. Dan cara berpikir yang rileks seperti ini yang sebenarnya hilang ketika kita mengikuti pelajaran yang sebagaimana dimengerti secara konvensional di kelas-kelas. Misalkan kalau kita mengikuti pelajaran di kelas, lalu kita menjawab pertanyaan dan jawabannya salah berulang kali, kita kemudian dipukul oleh guru. Itu adalah pola pembelajaran yang dari dulu penulis tidak pernah bisa suka dengan model seperti itu, dan oleh karena itu penulis lari ke Fisafat. Dan dari situ penulis menemukan bahwa hidup ini tidaklah Hitam-Putih seperti yang diajarkan di kelas atau tidak juga Hitam-Putih antara kebenaran dan kesalahan. Terdapat banyak variasi lain yang asalkan kita bisa argumentasikan dengan baik, maka kita bisa memperoleh jawaban yang memuaskan.
You must be logged in to post a comment.