Ruang Aman dan Cancel Culture yang Sekadar Jargon

Published on December 22, 2024

Di Indonesia, keamanan dalam hal seksual masih tergolong jauh dari sempurna. Kalau dikomparasikan dengan negara-negara maju seperti halnya negara-negara Eropa, Indonesia masih jauh tertinggal. Keamanan yang rentan ini kebanyakan dialami oleh perempuan. Namun, tidak menutup kemungkinan terdapat juga kasus yang menimpa laki-laki. 

Konsep ruang aman mulai sedikit terdengar, meskipun gemanya tidak sampai ke permukaan. Ruang aman di sini masih terdengar asing di telinga masyarakat umum. Biasanya, konsep ruang aman timbul dari pemahaman sekumpulan anak muda yang paham betul terkait dengan isu kekerasan seksual. Sekumpulan anak muda tersebut secara kolektif memiliki visi yang sama akan pentingnya ruang aman pada setiap orang. 

Banyak sekali gerakan kolektif yang mulai sadar akan hal ini. Gerakan kolektif yang paling sering menyuarakan hal ini adalah gerakan kolektif yang bergerak di bidang musik. Skena musik memiliki skala yang lebih masif dalam menyebarkan konsep ruang aman ini. Dan gerakan tersebut, kebanyakan mengadaptasi gerakan kolektif yang sudah ada di luar negeri. Akan tetapi, gerakan kolektif lain juga mulai menyusul. 

Kebanyakan dari mereka berangkat dari pemahaman bangsa-bangsa maju seperti halnya Amerika dan Eropa. Pemahaman ini kemudian diterapkan pada skala kecil, tetapi secara perlahan mengeskalasi. Dampaknya tidak serta merta dirasakan banyak orang, namun spiritnya mulai terasa. Terlepas dari hal tersebut, ruang aman bersinggungan langsung dengan budaya baru bernama cancel culture

Target utama cancel culture di sini merujuk pada pelaku kekerasan seksual di ruang aman. Harapan terbesarnya dari cancel culture adalah pelaku memiliki efek jera atas perbuatannya. Dan akan terdapat banyak sekali hambatan ketika pelaku hendak melakukan sesuatu, di luar lingkup ruang aman sekalipun. Efek tersebut juga dapat menjadi contoh bagi orang yang hendak melakukan kejahatan seksual di ruang aman.

Ruang aman dan cancel culture memiliki satu tujuan yang sama untuk melindungi golongan masyarakat yang rentan akan kekerasan seksual—dalam hal ini adalah perempuan. Keduanya berkelindan untuk menjaga harmoni yang sudah dibuat atas pemahaman visi yang sama. Ini adalah bukti sederhana, bahwa masyarakat dalam lingkup kecil mulai berpikir dengan asas moral yang dibawa secara kolektif berlandaskan pemikiran rasional.

Sayangnya, semuanya tidak berjalan dengan lancar. Banyak ruang aman yang justru menjadi tempat yang berbahaya. Seringkali, ruang aman menjadi tempat yang rawan akan kekerasan seksual, apapun bentuknya. Ironisnya, pelaku kekerasan seksual banyak didominasi oleh orang internal di ruang aman tersebut. Ruang aman hanyalah jargon untuk menggaet orang lain yang membutuhkan perlindungan dari kekerasan di kehidupan masyarakat. 

Di sisi lain, penggunaan cancel culture tidak selamanya berfungsi. Adanya sekat-sekat yang membuat cancel culture ini tidak berfungsi untuk sebagaimana mestinya. Cancel culture yang harusnya berkelindan dengan ruang aman, sayangnya hal tersebut hanyalah formalitas yang dipaksakan, dan tujuan besarnya hanyalah impresi media sosial. 

Budaya ketimuran juga menjadi salah satu penyebab ruang aman susah bergerak dengan lenggang. Adanya sekat-sekat berbentuk segan membuat ruang aman tidak berkembang sesuai dengan visi yang ditetapkan. Ruang aman sudah sepantasnya setara, tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah. Semua adalah bagian dari kelompok rentan. 

Pelaku yang terkena cancel culture dalam hal ini tak benar-benar dirugikan. Pasalnya, banyak pelaku kekerasan seksual yang masih bisa keluar dengan bebas tanpa sedikitpun kerugian yang dialaminya. Di sisi lain, korban sangat dirugikan, baik secara psikologis ataupun secara moral. Ditambah lagi dengan hukum di Indonesia yang sangat mudah sekali dibelokkan.

Alih-alih menuntaskan kasus tersebut, korban justru ditetapkan sebagai sumber kesalahan. Serangan mengarah pada korban, dan seakan-akan korban melakukan hal tersebut dengan sengaja. Hal yang paling sering menjadi sasaran dalam hal ini adalah pakaian korban. Padahal, kalau saja memahami betul konsep ruang aman, hal-hal tersebut tidak akan terjadi.       

Serangan pada korban seringkali justru menghambat proses cancel culture. Ada sosok yang dilindungi dalam hal ini. Inilah akibat jika ruang aman masih terbentuk atas kesadaran hierarki. Seseorang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi merasa berjasa dan merasa terlindungi, sekalipun dirinya membuat kesalahan. Inklusvitas kolektif mulai dipertanyakan. Hal ini jelas berkorelasi dengan tidak efektifnya gerakan cancel culture.

Sebuah solidaritas tentu digalakkan untuk menjaga keharmonisan ruang aman yang dibentuk. Implementasi harus sejalan dengan konseptualisasi. Kekerasan di ruang aman harus segera dituntaskan bagaimanapun bentuknya. Tidak ada ruang aman bagi pelaku kekerasan seksual.

Sebagai penutup, ruang aman sudah sepantasnya memanusiakan manusia. Konsep ruang aman harus berjalan seirama dengan visi yang dipatenkan di awal. Ruang aman harus menjadi ruang bagi semua kelompok yang rentan, untuk terbebas dari tindak kekerasan seksual ataupun tindakan kekerasan yang lain. Tidak ada toleransi bagi pelaku, dan kolektif harus berdiri bersama korban. Selalu dan selamanya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suka Artikel Ini? Tetap dapatkan Informasi dengan Berlanggana via email

Comments

You must be logged in to post a comment.

About Author