Gangguan jiwa adalah kondisi yang dapat memengaruhi bagaimana individu dalam berpikir, berperilaku, dan berperasaan. Di balik label dan stigma yang selama ini melekat, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) merupakan individu yang memiliki cerita, harapan, dan perasaan. Mereka bukan sekadar diagnosis, melainkan manusia utuh yang layak untuk dihargai dan di dampingi. Sayangnya, pemahaman yang keliru di masyarakat sering kali menciptakan jarak dan ketakutan yang tidak perlu.
Stigma pada orang dengan gangguan jiwa menjadi suatu permasalahan serius yang sudah melekat sejak lama. Mayoritas masyarakat memandang orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sebagai individu yang gila, tidak pantas hidup, dan edan (Asti et al., 2016). Lebih lanjut, Sabu et al., (2017) menjelaskan bahwa orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dipandang sebagai individu yang pantas dikucilkan, dijauhi, dan dirampas haknya untuk berada di dalam kelompok sosial.
Secara umum, anggapan yang dipercayai oleh masyarakat mengenai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berupa tidak dapat disembuhkan, penyakit yang dapat menular, individu yang bodoh, kurang beribadah dan iman kepada Tuhan, dan berbahaya. Nyatanya, semua anggapan itu SALAH. Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dapat disembuhkan dengan pengobatan yang teratur dan penanganan yang tepat serta tidak membahayakan orang lain apabila mendapatkan penanganan yang tepat oleh ahli profesional. Stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih tertanam kuat di masyarakat. Pandangan seperti ini tidak hanya salah, tetapi juga sangat merugikan mereka yang sedang berjuang.
Sering kali kita maupun masyarakat melupakan satu hal penting: orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah manusia biasa. Mereka bisa tertawa, menangis, bercita-cita, mencintai, dan berjuang—seperti halnya kita. Mereka bukan sekadar "pasien" atau "orang yang harus dihindari". Dibalik label itu, mereka memiliki identitas sebagai anak, saudara, teman, atau bahkan rekan kerja.
Mungkin beberapa dari kita belum berkesempatan untuk berkomunikasi maupun berinteraksi secara langsung dengan mereka, barangkali hal tersebut yang menjadikan kita merasa takut dengan mereka karena stigma maupun label yang melekat. Disini aku akan menulis mengenai curhatan mereka yang didapatkan ketika melakukan magang di salah satu rumah sakit jiwa di Jawa Timur.
"butuh 1 - 3 malam untuk menjadi orang jahat, tapi 1 - 3 tahun belum tentu bisa ngebuat kita jadi orang baik".
"pada akhirnya, saya tetap butuh orang disamping saya, saya pilih dimarahin daripada ga ada orang di samping saya".
"saya masih ga percaya kalau ada orang yang mencintai saya dengan diri saya yang seperti ini".
"makasih banyak sudah mau mengobrol dengan saya".
"saya ga boleh marah karena itu bisa nyakitin orang disekitar saya, saya gamau nyakitin mereka".
Banyak, banyak sekali dari mereka yang ingin pulih. Mereka sama seperti kita, mereka ingin dipahami atas rasa sakitnya, di dengar atas keresahannya, dan diperhatikan atas apa yang mereka rasakan. Mereka tidak kehilangan eksistensi dan entitas sebagai manusia.
Alih-alih mendapatkan dukungan dari lingkungan sosial, mereka sering kali dikucilkan. Padahal dukungan sosial yang positif merupakan salah satu faktor kunci dalam pemulihan gangguan jiwa. Untuk menghapus stigma tersebut, kita perlu menumbuhkan sebuah empati. Empati yang dimulai dari kesediaan untuk mendengarkan, memahami, dan tidak menghakimi. Kita perlu belajar bahwa gangguan jiwa bukan sebuah kesalahan pribadi. Sama seperti seseorang yang tidak memilih untuk terkena flu atau demam, seseorang juga tidak memilih untuk mengalami hal tersebut.
Mengenal lebih dekat dengan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) bukan hanya memahami kondisi mereka, melainkan juga menyadari kemanusiaan kita bersama. Ini tentang bagaimana menghentikan penilaian sepihak dan mulai membangun sebuah jembatan empati. Mari belajar untuk tidak takut, tidak menghakimi, dan tidak menolak. Sebab di balik setiap perjuangan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), ada kisah tentang harapan yang layak didengar dan ada manusia yang layak untuk dirangkul—bukan dihindari.
Sebagai penutup, aku ingin membagikan salah satu kalimat yang sangat membekas dan setiap aku membaca merasa sangat terharu yaitu kalimat yang aku temukan di salah satu akun quora.
"Sebagian besar pasien di rumah sakit jiwa itu manusia dengan perilaku dan moral yang normal seperti kita. Banyak diantara mereka yang mungkin mendapatkan hal yang tidak adil dari dunia, ditinggalkan orang yang disayang, kegagalan finansial, kesulitan mencari kerja, tidak ada dukungan, dan lain sebagainya. banyaknya rasa sakit yang mungkin dilewati atau barangkali mereka kebal dengan rasa sakit, membuat mereka menciptakan sebuah pertahanan diri untuk menciptakan imajinasi sebagai ganti realita kehidupan pahit mereka. mereka hanya manusia biasa, seperti kita. Namun, hidupnya mungkin ga seberuntung kita"
Daftar rujukan
Asti, A. D., Sarifudin, S., & Agustin, I. M. (2016). Public stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa Di Kabupaten Kebumen. Jurnal ilmiah kesehatan keperawatan, 12(3).
Subu, M. A., Waluyo, I., Nurdin, A. E., Priscilla, V., & Aprina, T. (2018). Stigma, stigmatisasi, perilaku kekerasan dan ketakutan diantara orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Indonesia: Penelitian constructivist grounded theory. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 53-60.

You must be logged in to post a comment.