Dasar Kerangka Berpikir Pada Perspektif "Etika Ekologika" : Problematika Antroposentrisme Dan Mengapa Manusia Melestarikan Lingkungan Hidup

Jikalau kita bicara tentang filsafat ekologi ataupun filsafat lingkungan hidup maka kita akan menjumpai pada satu pertanyaan paling fundamental yaitu: "Mengapa hidup itu memiliki nilai? Atau "Mengapa Hidup itu harus dilestarikan?" Dimulai dari sini penulis akan mengupas perdebatan yang memunculkan begitu banyak aliran dalam filsafat ekologi tersebut. 

 

Dalam pembicaraan tentang ekologi atau kajian lingkungan hidup kita itu sebenarnya sudah biasa berdiskusi tentang: seperti apakah tatanan yang seharusnya diwujudkan sehingga lingkungan hidup ini bisa lebih berkelanjutannya (sustainable) atau juga bisa tidak mengarah pada kepunahan. Akan tetapi sebetulnya ini dilandasi oleh satu problem filsafat yang dimana misalnya: "kebijakan tentang Emisi Karbon seperti apa yang harus diberlakukan sehingga berdampak pada Es di Kutub Utara itu tidak mencair." Memang hal tersebut adalah diskusi yang sifatnya berkaitan dengan kebijakan, akan tapi sebenarnya dibalik itu ada suatu landasan filosofis yang seringkali tidak ter-gali lebih dalam atau jauh, yang dimana para filsuf yang mengenal dan mendalami ekologi konsen membahas persoalan itu. Persoalan tersebut yaitu: "Apa yang membuat hidup itu sendiri menjadi bernilai?" Dan: "Apa yang membuat pelestarian terhadap lingkungan hidup itu harus dilakukan?" 

 

Dan jawaban standar dari Filsafat Teologi terhadap pertanyaan tersebut di atas adalah bahwa: "Alam ini bernilai karena dia memiliki nilai bagi manusia. Dan bahwa manusia memerlukan kelestarian alam demi kelangsungan dirinya sendiri sebagai spesies." Argumen tersebut diajukan misalnya oleh filsuf lingkungan hidup yang bernama "John Passmore" yang membedah lalu membelah dimana terdapat dua bentuk cara manusia menghadapi alam. Cara yang pertama adalah cara yang bermasalah. Cara itu disebut "DESPOTIC VIEW". Dimana hal tersebut mengacu pada cara pandang tiranis terhadap alam. Jadi di situ posisi manusia ialah sebagai Tiran atau Diktator terhadap alam lingkungan sekitarnya dan alam beserta keseluruhan isinya tersebut diperlakukan hanya sebagai alat bagi manusia.

 

Kemudian terdapat pandangan kedua yang kemudian disebut sebagai: "RESPONSIBLE DOMINION VIEW", yaitu suatu cara pandang pengelolaan atau penguasaan secara bertanggung jawab. Yang dimana manusia itu berposisi menguasai alam secara bertanggung jawab dengan memperhatikan kelestarian alam. Misalkan tidak semuanya alam langsung dihabiskan, dipakai dan dieksploitasi saat itu juga atau semua hutan ditebang untuk keperluan manusia. Akan tetapi manusia memikirkan juga kepentingan untuk kelestarian hutan tersebut dengan reboisasi atau penanaman kembali dan lain sebagainya. Jadi itu adalah dua hal yang dibedakan oleh John Passmore sebagai wakil dari filsafat ekologi pada umumnya. 

 

Namun di sekitar tahun 70-an berkembang satu pendekatan filsafat ekologi yang berbeda, yang mengkritik pendekatan konvensional seperti pandangan John Passmore tadi. Pendekatan yang kedua ini disebut sebagai "DEEP ECOLOGY" atau biasa disebut "EKOLOGI DALAM". Ekologi Dalam atau tipe ekologi aliran ini dicetuskan oleh tokoh pemikir seperti "Arne Naess", seorang filsuf ekologi dari Skandinavia. Atau ada juga pemukir bernama "Val Pulmwood", seorang filsuf ekologi dari Australia. Keduanya ini menggulirkan satu pendekatan baru yang mengubah cara pandang kita dalam melihat hubungan manusia dan alam. Menurut filsuf seperti Val Pulmwood, pandangan John Passmore tadi itu sebetulnya bermasalah. Itu karena perbedaan antara "Despotic View" dengan "Responsible Dominion View" itu sebenarnya keduanya sama saja. Dimana keduanya dilandasi oleh cara pandang manusia yang Instrumentalis terhadap alam. Jadi alam itu dilihat atau ditempatkan hanya sebagai instrumen bagi kebutuhan manusia. Yang mana sudut pandang tersebut sangatlah Antroposentrisme, yang terpusat pada manusia atau condong pada manusianya. Inilah yang menjadi masalah utama dari ekologi yang pada umumnya. Dan ini yang mau diatasi lewat pendekatan Ekologi Dalam.

 

Para filsuf dari la aliran Ekologi Dalam ini ingin mengadakan yang namanya Transisi Paradigma, dimana dari yang semula Antroposentrisme menjadi Ekosentrisme. Antroposentrisme sendiri sebagai satu tesis filsafat itu sebetulnya adalah: bahwa prinsip-prinsip etis atau nilai-nilai etis yang menjadi dasar dari bagaimana berperilakunya hidup manusia itu ditentukan oleh kepentingan manusia itu sendiri. Jadi perilaku manusia terhadap alam itu landasan pengukurnya adalah kepentingan manusia tersebut. Misalkan sesuatu itu baik kalau itu memajukan atau memenuhi kepentingan manusia. Antroposentrisme ini dapat dipilah dari suatu pandangan lain yang disebut Biosentrisme, yaitu pandangan bahwa prinsip-prinsip etis itu dihasilkan dari kepentingan dari sudut pandang seluruh organisme yang ada di bumi. Ini adalah satu perspektif yang berbeda dari antroposentrisme. Yang kalau antroposentrisme itu segala sesuatunya diukur dari kepentingan manusia, sedangkan yang biosentrisme segala sesuatunya diukur dari kepentingan semua organisme atau makhluk hidup. 

 

Tapi ini aja tidaklah cukup menurut para penganut Ekologi Dalam. Diperlukan suatu prinsip ketiga yaitu "Ekosentrisme". Ekosentrisme sendiri itu adalah gagasan bahwa prinsip-prinsip etis tersebut diturunkan bukan hanya dari organisme tetapi juga dari lingkungan tak hidup yang menunjang keberadaan organisme. Artinya kepentingan disini bukan hanya kepentingan binatang, flora dan fauna dan semacamnya, tetapi juga lanskap geografis Indonesia seperti gunung, danau, laut, gua dan seterusnya dimana hal itu dilihat sebagai satu ekosistem yang sifatnya tak hidup karena bukan makhluk hidup tetapi yang menunjang bagi adanya organisme. Jadi ketika kita bicara tentang: "apakah bermoral untuk melakukan pemusnahan terhadap satu spesies, itu tidak cukup berhenti disana. Kita juga harus bicara tentang apakah bermoral atau tidak untuk menghancurkan gunung. Misalkan area Gunung dihabisi untuk dijadikan tambang." Sedangkan Gunung itu sendiri kan bukan makhluk atau entitas yang tidak hidup. Tetapi menurut perspektif Ekologi Dalam, gunung itu yang menunjang bagi keberadaan organisme sehingga dia harus menjadi bagian dari prinsip-prinsip etis di awal tadi untuk menjadi subjek moral juga, yang bisa dijadikan landasan untuk kita mengukur apakah tindakan kita itu bermoral atau tidak. Jadi Ekologi Dalam itu menarik ke suatu perspektif yang jauh lebih Holistik, yang melibatkan bukan hanya manusia tetapi juga semua organisme dan seluruh unsur tak hidup dan unsur non organik yang mendukung keberadaan organisme itu.

 

Dan oleh karena tersebut para penganut Ekologi Dalam ini mengusung suatu prinsip yang disebut sebagai "Egalitarianisme Biosfer". Dimana kita tahu Egalitarinaisme itu adalah prinsip yang menjunjung tinggi nilai kesetaraan. Akan tetapi subjek yang dipermasalahkan dalam hal kesetaraan ini bukan hanya manusia, atau bukan setiap orang setara satu sama lain tetapi semua unsur biosfer itu setara satu sama lain. Yang artinya manusia itu setara dengan kucing, setara dengan elang, setara dengan batu-batuan yang membentuk gunung, setara dengan rumput-rumput, setara dengan semua hal yang membentuk ekosistem hidup tersebut dan termasuk juga unsur-unsur tak hidup yang menunjangnya. Dengan Egalitarianisme Biosfer ini Ekologi Dalam itu mengakui adanya semacam Hak Intrinsik atas hidupnya bahwa hidup itu secara intrinsik itu bernilai. Dari sini kemudian kita bisa bertanya: kenapa bisa bernilai? Dan bahkan lebih jauh dari itu adalah hidup seperti apakah yang bernilai? Apakah semua hidup bernilai atau hidup jenis tertentu saja yang bernilai? Dan disinilah masih terkandung masalah dari pendekatan Ekologi Dalam tersebut. Ekologi Dalam ini yang dalam usahanya untuk meninggalkan Antroposentrisme sebenarnya masih membawa pengaruh cara pandang Antroposentris itu sendiri. Jadi ada semacam Bias dalam memandang lingkungan hidup dari sudut pandang Ekologi Dalam. 

 

Bias itu terlihat ketika kita mencoba mengejar lebih jauh lagi, maksudnya dalam hal ini: "hidup seperti apa yang mau dipertahankan? Atau Lingkungan Hidup seperti apa yang lebih berhak untuk dipertahankan?" Dari situ kelihatan bahwa dari definisi Egalitarianisme Biosfer tadi kan mau mempertahankan segala macam unsur organisme yang ada di bumi sekaligus juga unsur tak hidup yang menunjang organisme tersebut. Akan tetapi sementara itu kita tahu bahwa organisme sebagai makhluk hidup yang ada di bumi itu kan hampir sebagian besar bergantung pada Daur Oksigen yang tersedia. Dimana ketersediaan Oksigen di alam ini yang menjadi dasar bagi keseluruhan argumen kelestarian kita yang bahwa makhluk hidup itu adalah makhluk hidup yang bernafas dengan menghirup oksigen lah yang mau kita pertahankan. Bukan misalnya makhluk hidup yang bernafas dengan Gas Methane yang menyebabkan pemanasan global. 

 

Dari kacamata pandang itu justru yang kita pertahankan adalah makhluk hidup jenis tertentu, atau suatu tatanan hidup juga lingkungan hidup jenis tertentu yang berdasarkan pada daur oksigen. Inilah yang seringkali tidak dipertanyakan oleh para pemikir Ekologi Dalam. Dimana bahwa konsepsi tentang nilai intrinsik untuk hidup itu sebenarnya hanya berlaku di satu segmen khusus dari konsep lingkungan hidup yaitu lingkungan hidup yang berbasis pada Daur Oksigen. Lalu kenapa pemilahan ini penting? Dikarenakan bahwa sebenarnya kalau kita melihat sejarah kehidupan di Bumi, mulai dari sejarah planet ini terbentuk sampai dengan hari ini, maka kita akan melihat bahwa makhluk atau daur hidup yang berbasis pada oksigen itu di bukan satu-satunya konsep atau daur hidup yang berlaku di dunia ini. Jauh sebelum adanya Manusia atau jauh sebelum adanya Dinosaurus, kehidupan di bumi ini muncul justru bukan lingkungan hidup dengan bernafas berbasiskan oksigennya tapi berbasiskan Gas lain yang beracun buat organisme yang berbasis oksigen. 

 

Antara 4-3 milyar tahun yang lalu ada konsentrasi tinggi Karbondioksida yang disebabkan karena adanya aktifitas vulkanik yang membuat organisme-organisme awal di bumi ini hidup dengan sistem pernapasan yang tidak berbasis oksigen. Itu disebutnya sistem pernapasan "Anaerob" dan baru sekitar tiga miliar tahun yang lalu itu bakteri purba misalkan Bakteri Cyanobacteria memproduksi gas metan yang mendesak hidrogen keluar dari atmosfer dan karena itu memberi ruang bagi Oksigen yang berakibat pada munculnya suatu peristiwa Oksidasi besar yaitu di sekitar 2,4 milliar tahun yang lalu. Dari peristiwa "Great Oxidation Event" inilah yang mengakibatkan bumi itu penuh dengan oksigen dimana ada over produksi Oksigen yang ditimbulkan oleh bakteri anaerob itu. Dikarenakan pasokan oksigen begitu banyak di bumi ini maka kemudian terjadi perubahan pada Evolusi Organisme itu yang semula mengadopsi sistem pernafasan Anaerob dengan berbasis gas metan yang men-sekresi-kan oksigen kemudian beralih menjadi organisme dengan pernafasan Aerob yang lazim kita temukan di bumi saat ini. Kendati begitu masih banyak sebetulnya organisme Anaerob yang ada hari ini, misalnya bakteri dari kelas Clostridia yaitu bakteri "Clostridium Tetani" dimana dia bukan hanya tidak membutuhkan oksigen untuk hidup tetapi juga akan mati apabila terpapar Oksigen. 

 

Dari sini bisa kita lihat bahwa ada berbagai macam hak keanekaragaman hayati. Bukan hanya bahwa ada berbagai macam organisme yang kemudian kita sebut sebagai keanekaragaman hayati, tetapi bahwa keanekaragaman hayati itu sendiri beraneka ragamnya. Ada keanekaragaman hayati berbasis oksigen, ada juga keanekaragaman hayati berbasis gas metan dan lain sebagainya. Jadi apa yang kita tersebut sebagai lingkungan hidup itu sebetulnya terbagi kedalam prasyarat kimiawi yang berbeda-beda. Dan semuanya itu bisa sangat sulit sekali kita perbandingan satu sama lain. Kita tidak bisa mengklaim bahwa hanya organisme atau tata hidup yang berbasis pada oksigen-lah yang bernilai moral lebih tinggi daripada yang lain. Padahal kenyataannya sampai sekarang itu masih ada bakteri yang misalnya bernafas dalam Sulfur. Lalu ada juga bakteri yang bernafas dalam Nitrogen yaitu Bakteri Rhizobium. Kemudian ada lagi bakteri yang bernafas dalam gas metan misalnya Bakteri Methylomirabilis seperti jutaan milyaran tahun yang lalu. Bahkan ada yang bernafas dalam Arsenik yang mana kita tahu Arsenik itu adalah racun. Dan setiap organisme semacam itu dapat memproduksi biosfer dengan dominasi unsur tertentu yang akan memusnahkan organisme yang rentan terhadap unsur tersebut. Jadi misalnya bagi organisme yang "Aerob Wajib" atau wajib bernafas dengan oksigen, contohnya Bakteri Mycobacterium Tuberculosis atau juga seperti manusia, yang berarti ketersediaan oksigen itu akan menentukan hidup matinya. Sedangkan bagi organisme yang "Anaerob Wajib" contohnya Bacteroides artinya tidak bisa bernafas dengan oksigen, jikalau ada oksigen dia malah mati. Tentu saja itu akan bertentangan dengan kepentingan organisme yang Aerob Wajib. 

 

Dan nyatanya Biosfer yang tercipta dari bakteri anaerob pun bisa menghasilkan keanekaragaman hayati yang sama kompleksnya seperti keanekaragaman hayati yang kita temui hari ini secara aktual dalam makhluk berbasis oksigen. Dari sini makin kelihatan bahwa sebetulnya pandangan Ekologi Dalam yang menolak Antroposentrisme tadi sebetulnya itu masih menyimpan sudut pandang Antroposentrisme. Lalu apa yang mereka sebut sebagai Ekosentris itu ternyata tidak sepenuhnya Ekosentris, karena disitu kita bisa melihat bagaimana manusia itu berperan sebagai penentu, yang dalam hal itu soal konsepsi tentang hidup sebagai yang berbasis pada daur oksigen. Hal itu sangat khas manusia. Yang mana manusia yang melihat hal-hal di sekitarnya menurut kesamaan dengan dirinya. Yang sama-sama makhluk hidup yang berevolusinya dari satu pohon hidup yang sama dimana basisnya adalah oksigen. 

 

Bagaimana kalau ketika kita geser perspektifnya dengan melihat satu konteks evolusi yang lain, yang mungkin saja terjadi setelah 'katakanlah' manusia punah atau alam berbasis oksigen ini sudah berganti menjadi berbasis gas metan, sulfur atau berbagai unsur kimia yang lain? Lalu kemudian bagaimana kita menimbang yang satu sisi lebih bernilai secara Etis sehingga harus dilestarikan sedangkan sisi yang lain tidak? Padahal kita tahu ada jenis-jenis organisme tertentu yang Aerob Wajib layaknya manusia seperti kita dimana kalau kita nggak ada oksigen maka kita akan mati tetapi ada juga organisme yang memiliki Anaerob Wajib yang justru mengalami kalau dia adaoksigen malah akan mati. Jadi kepentingan dari tatanan organisme yang satu bertentangan sekali dengan kepentingan tatanan organisme yang lain. Lalu bagaimana ini dijembatani kalau kita hanya menekankan pada tata hidup yang berbasis pada organisme seperti kita kenal hari ini seperti yang dilakukan para penganut ekologi dalam. Maka sebetulnya itu adalah Bias dari antroposentrisme kita dalam melihat bahwa kehidupan yang harus kita lestarikan misalnya agar jangan sampai terjadi Pemanasan Global itu adalah konsepsi kehidupan yang sebenarnya sangat sempit, yang karena hanya berbasis Daur Oksigen. Dimana itu sesuatu yang tidak terpenuhi kalau kita menoleh kebelakang sekitar milyaran tahun yang lalu atau menoleh kedepan nanti setelah 'misalkan' terjadi pemanasan global dan semua yang apa kita sebut dengan hidup dengan berbasis oksigen ini sudah tidak ada lagi. 

 

Jadi bisa disimpulkan bahwa Ekologi Dalam pun tidak sungguh-sungguh dalam, artinya dia masih mengandaikan ekologi yang dangkal tadi. Dari perspektif manusia yang berbasis pada kepentingan manusia. Hanya saja hal tersebut diperluas sedikit, dimana Manusia yang tercermin dalam tatanan seluruh makhluk hidup di bumi ini yang berbasis oksigen dan unsur tak hidup membentuknya. Dari sini kelihatan bahwa ini adalah suatu Etika Lingkungan Hidup yang hanya ketika berbasis oksigen saja. Penulis bukannya menolak sepenuhnya Ekologi Dalam, bahkan sepakat dan dalam banyak hal bersimpati pada usaha Ekologi Dalam untuk menggeser perspektif Antroposentrisme, memperjuangkan kepentingan pelestarian lingkungan itu tanpa harus mencampurkan kepentingan manusia di dalamnya. Akan tetapi permasalahannya seperti yang tadi kita kemukakan, apakah itu realistis ketika kita mengusahakan pelestarian alam dengan mengingkari sepenuhnya kepentingan kita. Padahal dalam usaha kita melakukan pelestarian alam itu, sebenarnya yang kita lestarikan adalah ekosistem kita. Ekosistem seluruh organisme yang berbasis oksigen. 

 

Dengan menunjukkan kesempitan pendasaran ekologi dalam, berarti penulis juga memperlihatkan betapa prinsip etika antar-manusia berdiri di atas dasar yang begitu sempit yaitu Aerobsentrisme. Etika lingkungan hidup berbasis oksigen membentuk etika antar-manusia yang juga berbasis oksigen. Imperatif (perintah) moral universal hanyalah imperatif moral makhluk yang bernafas dengan oksigen. Alam menyediakan takhingga banyaknya basis moralitas dan apa yang kita pilih hanya satu dari ketakhinggan itu. Pilihan moral untuk tidak membunuh harimau, dalam perspektif yang lebih luas itu, adalah pilihan moral untuk membuat rusa terbunuh olehnya. Pilihan moral untuk tidak melukai seseorang adalah pilihan moral untuk membiarkan orang lain tersakiti olehnya. Pilihan moral untuk melestarikan semua makhluk (aerob) adalah pilihan moral untuk membiarkan punahnya semua makhluk (anaerob).

 

Jadi, jangan-jangan argumen untuk pelestarian lingkungan itu memang tidak bisa dilepaskan dari semacam kepentingan manusia, walaupun kepentingan manusia ini harus ditata sedemikian rupa sehingga bisa menjamin kemaslahatan dari seluruh organisme yang ada di bumi. 

 

Dihadapkan pada skala kenyataan yang begitu luas ini, kita harus menyimpulkan bahwa tidak ada etika. Tidak ada kriteria etis yang berlaku universal untuk setiap entitas. Setiap kriteria etis selalu tersituasikan dalam medan kepentingan yang parsial. Oleh karenanya, tidak ada yang layak disebut sebagai tindakan etis sejauh tindakan etis harus diartikan sebagai sesuatu yang murni tanpa pamrih dan tanpa bias kepentingan. Sebagai kenyataan, etika adalah residu perspektif dari subjek yang berkepentingan yang mengusahakan sesuatu. Mungkin memang semuanya semua di atas sia-sia belaka. Sebagai domain kajian filsafat, etika tidak berdiri sendiri. Ada filsafat politik dan ada filsafat estetika, tetapi tidak ada filsafat etika yang berdiri sendiri. Ada kajian filosofis tentang apa yang indah menurut orang per orang (estetika) dan ada kajian filosofis tentang keharusan-keharusan hidup bersama (politik). Dan etika hanyalah irisan antara kedua kajian itu. Kepusingan yang muncul ketika terjadi benturan antara politik dan estetika, itulah etika.

Suka Artikel Ini? Tetap dapatkan Informasi dengan Berlanggana via email

Comments

You must be logged in to post a comment.

About Author