Sebenarnya apa sih yang sebenarnya dimaksud dengan etika? kita sering mendengar orang bicara: "ini etis, ini tidak etis", tapi sebenarnya apa sih yang dimaksud etis itu sendiri? Apakah dia berkaitan dengan hukum atau kesesuaian dengan perintah undang-undang, atau dia sesuai dengan perintah agama? Ataukah apa ada satu hal yang unik dan yang khas dalam hal etika, yang berbeda dari misalnya peraturan undang-undang peraturan agama peraturan adat istiadat dan seterusnya. Apakah ada sesuatu yang disebut murni secara etis?
Jika kita mau berdiskusi tentang etika pertama-tama kita harus jelas dahulu tentang perbedaan antara "Etika" dan "Etiket". Dimana Etiket itu bicara tentang misalkan sopan santun yang menyesuaikan adat kebiasaan yang berlaku. Yang misal bilamana kalau kita masuk bertamu ke rumah orang, kita permisi terlebih dahulu tidak main nyelonong dan lainnya, jadi itu adalah etiket. Atau misalnya kalau makan itu dengan tangan kanan lalu sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiri atau biasa disebut "Table Manner" tersebut itu adalah bagian dari Etiket, dari cara kita "meng-Conduct", membentuk atau membawa diri kita dalam dalam kehidupan pergaulan sehari-hari.
Etiket tentunya relatif yang artinya setiap masyarakat punya kode etiket-nya sendiri. Bahkan di kalangan-kalangan profesi sekalipun ada yang disebut sebagai etiket yang berlaku khusus di bidang-bidang tersebut. Jadi seperti semacam Konvensi tidak tertulis dimana bahwa setiap orang diharapkan bertindak dengan cara-cara tertentu. Tetapi etika biasanya diartikan jauh lebih abstrak dari itu. Baik dari sekedar aturan-aturan yang biasa berlaku dalam konteks kehidupan masyarakat sehari-hari. Misalkan seperti berkaitan dengan apa yang disebut sebagai "Baik" dan "Buruk". Sedangkan di dalam Etiket itu tidak ada "baik" dan "buruk". Etiket itu hanya perkara "Pantas" atau "Tidak Pantas".
Sebagai kata Etika juga seringkali digantikan dengan Moral dan seringkali ditukar-tukar. Walaupun secara Etimologi memanglah sebenarnya berbeda. Karena moral itu berasal dari kata latin: "Mores" yang artinya kebiasaan, atau "apa yang berlaku di masyarakat". Sedangkan Etika itu berangkat dari kata
Yunani: "Ethos" dimana dia berkaitan dengan disposisi atau kecenderungan tentang sikap atau karakter seorang. Namun walaupun keduanya punya etimologi atau asal kata yang berbeda, secara pengertian sebenarnya sama saja. Etika tidak lain adalah moral. Jadi kalau orang bicara filsafat Etika itu sama dengan filsafat moral. Lalu kalau kita ingin men-definisikan etika atau moral ini sebagai suatu pandangan filsafat, maka kita akan melihatnya sebagai filsafat tentang yang baik dan yang buruk.
Dan ini adalah suatu cabang filsafat yang sebenarnya sudah dalam waktu yang sangat lama penulis hindari untuk membicarakan, karena penulis sendiri sebetulnya juga masih ragu-ragu tentang etika. Khususnya mengenai: "Apakah Etika sungguh-sungguh ada sebagai filsafat?" Dimana yang pertama itu adalah Keberadaan filsafat Etika itu sendiri dan yang berkaitan dengan itu adalah tentang konsep utamanya yaitu tindakan etis tentang yang baik dan buruk. Misalkan: Apakah ada tindakan baik yang mana itu merupakan tindakan yang betul-betul bisa diberi predikat: "Baik" dalam arti moral atau etis. Tetapi dari sini bukan berarti menganggap bahwa kita sebaiknya berlaku apapun yang kita sukai dengan melanggar moralitas, melanggar hak orang lain, atau melakukan kekerasan terhadap orang lain. Tetapi maksudnya untuk menggali lebih jauh lagi sampai mana batas pemisah atau demarkasi dari Etika sebagai suatu ranah kajian. Dan itu harus di-isolasi berdasarkan unit paling dasarnya yaitu tindakan yang baik.
Lalu apa sih sebetulnya yang membedakan suatu tindakan disebut baik dan tindakan itu disebut sesuai dengan hukum atau sesuai dengan perintah moral masyarakat? Atau apa ciri khas dari tindakan baik? Hai ini yang harusnya kita pertanyakan kalau kita mau mendudukkan kembali soal Etika ini. Untuk memberi gambarannya mungkin kita bisa survei terlebih dahulu posisi-posisi umum dalam filsafat etika. Dimana paling tidak ada tiga aliran besar dalam filsafat Etika.
Yang pertama aliran yang disebut etika "Deontologis", atau Etika Kewajiban. Yang kedua adalah "Virtue Ethics" atau Etika Keutamaan. Dan yang ketiga adalah "Etika Konsekuensialis" yaitu etika yang berurusan dengan konsekuensi dari sebuah tindakan. Secara garis besar Etika Deontologis itu menggaris-bawahi nilai moral dari suatu tindakan pada sejauh mana tindakan itu merupakan ungkapan dari kewajiban. Jadi kalau suatu tindakan dilakukan murni demi kewajiban maka itu adalah tindakan yang baik. Tokoh pemikir etika deontologis ini contohnya adalah "Immanuel Kant" di abad ke 18-19 awal. Dia berpikir bahwa suatu tindakan yang dilakukan murni demi kewajibannya. Misalkan, sesuatu dinyatakan etis itu tidak akan menjadi etis kalau dilakukan demi kesenangan pribadi. Kalau seseorang menolong orang lain karena dia "Suka" berarti itu bukan tindakan etis. Tetapi kalau dia menolong orang lain walaupun itu merugikan kepentingannya dan itu diatur oleh hukum moral yang mengatakan seperti itu, tetapi dia melakukannya, maka itu adalah tindakan baik. Jadi cara berpikirnya adalah kesesuaian dengan suatu perintah moral.
Problemnya kemudian kan perintah moral itu datangnya dari mana? Apakah dari sembarang hukum? Kalau dari sembarang hukum atau dari sembarang adat-istiadat kan berbeda-beda tiap masyarakat. Apakah kita harus mengikuti satu persatu, mencari yang sama atau bagaimana? Oleh karena itu "Immanuel Kant" mengajukan solusi berupa: Hukum moral itu haruslah sesuatu yang berlaku universal. Artinya dia dapat di-universal-kan, walaupun sepertinya kita rumuskan pertama kali itu secara partikular atau bersifat pribadi. Misalnya: orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain, hal itu jika kita universal-kan apakah prinsip ini bisa mencapai taraf universal? Misalkan jika hal tersebut kita universal-kan artinya orang lain juga berpikiran hal yang sama sebaliknya. Kita bisa membayangkan dalam pikiran kita orang lain pun akan sampai pada kesimpulan itu. Misalkan kita nggak boleh menyakiti orang lain karena kalau orang lain itu kebetulan adalah "aku", maka "aku" juga nggak mau disakiti. jadi hal itu rasanya bisa di Universal-kan. Berbeda halnya dengan misalnya ucapan seperti: "setiap orang bebas membunuh orang lain". Nah ini kan tidak bisa di Universal-kan. Ketika dia mau meng-universal-kan ketika kita membayangkan posisi kita berada pada posisi orang lain yang akan dibunuh itu maka kita akan berpikir "tidak mau dong saya dibunuh atau dilukai". Maka prinsip ini gagal dengan cepat karena tidak bisa di Universal-kan. Jadi itu Salah satu syarat bagi suatu tindakan etis menjadi suatu perintah moral atau satu hal yang bisa menjadi pedoman bagi setiap tindakan etis yang bahwa hal itu berlaku universal atau bisa di-universal-kan. Dan Selain itu tindakan etis tersebut juga harus memenuhi kriteria kedua yaitu "Bahwa tindakan ini dilakukan murni dengan menempatkan orang lain sebagai tujuan pada dirinya bukan sebagai sarana".
Kalau kita mengikuti perintah moral tapi kita bertindak pada orang lain dengan menganggapnya sebagai sekedar sarana untuk sampai ke tujuan yang lain (yang bukan orang itu) artinya kita memanfaatkan orang lain, maka itu adalah hal yang buruk atau tidak etis. Artinya prinsip moral selain harus bisa di-universal-kan dia juga harus bisa mengandung sikap yang menempatkan manusia sebagai tujuan pada dirinya, bukan sebagai sarana bagi suatu tujuan yang lebih tinggi. Jadi prinsip kemanusiaan ini yang menjadi kriteria kedua dari hukum moral. Lalu hukum moral yang itu dirumuskan dengan kedua kriteria ini ketika itu diperoleh maka itu harus dipatuhi oleh setiap orang itu. Dan nilai etis tindakan setiap orang adalah sejauh mana tindakan itu sesuai dengan Hukum moral tadi. Kalau dia menyalahi hukum itu maka dia tidak bernilai secara moral.
Aliran filsafat etika kedua yang besar itu adalah "Etika Keutamaan" atau "Virtue Ethics". Virtue Ethics merupakan suatu aliran filsafat yang usianya jauh lebih tua daripada "Etika Deontologis". Jika Etika Deontologis muncul di akhir abad ke-18 dengan Immanuel Kant, kalau Etika Keutamaan atau Virtue Ethics ini berangkat jauh ribuan tahun sebelumnya di waktu era Yunani kuno dimana seorang seperti Aristoteles sudah mencetuskan Ide ini. Ide dasar Virtue Ethics tersebut adalah bahwa Etika itu semacam ekspresi dari kepribadian atau karakter individu yang berasal dari nilai-nilai tertentu yang dianggap merupakan buah dari generasi ke generasi atau semacam adat-istiadat yang kemudian mencapai status moral tertentu karena dia bisa dianggap memiliki pedoman dalam menghasilkan hidup yang baik. Jadi nilai-nilai itu misalnya adalah "Moderasi". Yang dimaksud moderasi disini tentu bukan menjadi "moderator" dalam sebuah diskusi, tetapi adalah "sikap tidak berlebihan atau moderate, yang berarti kalau orang menginginkan sesuatu yang berlebihan orang itu bisa mengendalikan dirinya menahan keinginannya itu". Seperti itulah kemampuan moderasi. Jadi bisa membikin hasrat atau nafsu-nafsu itu terkendalikan. Itulah salah satu nilai moral keutamaan (yang utama) atau Virtue.
Di kalangan para pendukung teori etika keutamaan tidak ada konsensus atau kesepakatan bersama tentang berapakah nilai pokok yang harus dimiliki setiap orang agar bisa menjalani hidup yang baik. Jadi setiap pemikir punya teori sendiri tentang Virtue-nya. Satu set Virtue merupakan satu himpunan nilai-nilai yang dianggap fundamental atau mendasar bagi hidup yang baik. Jadi, etika keutamaan ini melihat masalah etika sebagai satu rangkaian dalam menyelenggarakan hidup yang lebih luas. Tujuan utama laku etis dalam kerangka filsafat etika keutamaan ini adalah mencapai "Eudaimonia" atau "hidup yang baik", semacam kebahagiaan tapi dalam pengertian hidup yang sentosa, yang cukup, yang tidak berlebihan, yang dijalani dengan nyaman, dan semacamnya. Itu adalah tujuan dari hidup etis kalau menurut versi Etika Keutamaan. Dan Etika Keutamaan ini walaupun sudah muncul jauh lama sebelum Deontologis, sebenarnya mulai muncul kembali antara tahun 80-an sampai 90-an, khususnya dalam bingkai pemikiran "Komunitarianisme". Dalam pandangan kaum komunitarian, cara mengelola kehidupan yang baik (maksudnya suatu kehidupan bersama) adalah dengan merujuk pada nilai-nilai turun-temurun yang muncul di masyarakat dimana sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Jadi kita berangkat dari pengakuan pada perbedaan cara hidup dari nilai-nilai komunitas.
Aliran etika ketiga disebut sebagai "Etika Konsekuensialis", suatu aliran yang juga sudah lama hampir sama tuanya dengan usia manusia, yang menganggap: "Tindakan baik itu adalah apapun yang menghasilkan hasil yang baik". Jikalau hasilnya baik maka tindakan itu bernilai secara moral. Disini yang penting adalah: "apa hasilnya!" Kalau misalnya kita menyelamatkan lebih banyak orang maka itu adalah tindakan yang lebih baik daripada suatu tindakan lain yang hanya menyelamatkan sedikit orang. Jadi cara evaluasinya adalah dilihat dari aspek hasilnya. Contoh paling terkenal dari aliran Konsekuensialis ini adalah suatu filsafat etika yang disebut sebagai: "Utilitarianisme", yang berbasis pada utilitas atau manfaatnya. Mungkin kita seringkali mendengar ungkapan: "Asas Manfaat" di dalam percakapan publik kita, dan inilah wujud filsafatnya. Etika Konsekuensialis ini diicetuskan oleh: "Jeremy Bentham" yang memandang bahwa suatu tindakan itu disebut bernilai secara moral atau baik kalau dia menghasilkan: "Greatest Happiness For The Greatest Number". Dimana semakin banyak menghasilkan kebahagiaan bagi semakin banyak orang maka tindakan itu semakin baik. Jadi ukurannya disini bukanlah kepatuhan pada satu perintah moral yang dimaksud oleh "Immanuel Kant" sebelumnya atau bahwa dia mencerminkan satu nilai-nilai komunitas atau tidak, akan tetapi dari sejauh mana dia menghasilkan manfaat yang sebaik-baiknya bagi masyarakat.
Jadi itulah tiga aliran utama filsafat etika. Dan ketiganya ini bertengkar terus-menerus selama ratusan tahun, dan sampai hari ini pun belum ada suatu Konsensus atau kemufakatan bersama tentang mana yang paling benar diantara ketiganya. Lalu apa yang penulis persoalkan disini tidak terletak pada tataran perbedaan diantara ketiga aliran etika tadi. Bukanlah soal mana yang paling benar diantara ketiga aliran etika tersebut, tetapi adalah persoalan: "Apakah ada sesuatu hal yang disebut Etis, benar-benar disebut sebagai suatu tindakan Etis atau sebagai suatu filsafat etika yang terpisah dari tindakan-tindakan lain atau terpisah dari filsafat yang lain?" Misalnya: Apakah kita bisa betul-betul memilah tindakan etis dari tindakan yang politis atau mungkin tindakan Estetis? Atau misalkan: Apakah kita bisa memilah antara Filsafat Etika dengan Filsafat Politik?
Dalam bahasa filsafat, wilayah yang penulis persoalkan ini disebut sebagai "Meta-etika (Meta-Ethics)". Jadi bukan etikanya tapi meta-etika. "Meta" dalam bahasa Yunani itu artinya sesuatu yang melampaui. Jadi disini kita bertanya tentang: Kategori Etis itu sendiri, bukanlah tentang tindakan atau sikap-sikap etis dan contoh-contohnya. Akan tetapi: "Apakah ada yang disebut sebagai Etis dan Tidak Etis?" Konteks dari pertanyaan itu adalah bahwa kehidupan manusia itu kan sebetulnya bisa dilihat sebagai suatu spektrum. Spektrum yang merentang dari kehidupan yang paling privat sampai yang paling publik, atau juga mulai dari laku berpikir sendiri dikamar dengan membayangkan apapun sendiri sampai dengan laku pemungutan suara di bilik suara (mengambil keputusan politik bersama). Hal itu kan termasuk satu spektrum yang keseluruhannya mencakup hidupan manusia. Lalu dari sini Etika Itu sendiri posisinya dimana dalam spektrum ini? Sedangkan kita punya kategori "Filsafat Politik" untuk menyebut hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bersama, misalnya mengenai pengambilan kebijakan, menentukan sikap, dan semacamnya itu adalah wilayah-wilayah Filsafat Politik, yang mana tindakan yang berlaku di sana adalah tindakan politik yang berkaitan dengan bagaimana kehidupan bersama itu mau disusun dan diselenggarakan.
Lalu kita juga punya pada spektrum yang lain dalam filsafat yang disebut sebagai Estetika. Yang mana itu berkaitan dengan apa yang "indah dan tidak indah. Atau yang menyentuh hati dan tidak menyentuh hati", dan sejenisnya. Dan ini akan bisa berkaitan dengan hal-hal yang paling privat sekalipun. Sedangkan yang dipersoalkan disini bukanlah bahwa filsafat politik itu publik kemudian Estetika itu privat. Karena bisa jadi Filsafat Politik itu privat yang mana langkah politik kan juga proses pengambilan keputusan politik dimana berangkatnya Itu dari apa yang terjadi di ranah privat. Demikian pula dengan Estetika, yang juga bisa menjadi politis atau bersifat publik. Artinya dia berkenaan dengan cara orang di ruang publik untuk merasakan dan menghayati sesuatu. Misalnya kita menonton pameran atau ketika pameran itu dihadirkan dalam bentuk kritik politik dan itu kan suatu hal yang sifat lingkupnya publik dan bukan privat. Yang jadi persoalan di sini bahwa ternyata keduanya mencerminkan spektrum aktivitas manusia yang luas, mulai dari ranah politik sampai estetika dimana keduanya bisa masuk dalam wilayah privat maupun publik.
Pertanyaannya, diantara kedua wilayah ini, apakah ada satu wilayah di tengah-tengahnya yang tidak terdefinisikan yang membuat kita memerlukan suatu bentuk atau cabang filsafat lain yang akan dinamakan: "Etika" untuk menyumpal-nya. Inilah yang sebenarnya dipertanyakan di sini. Apakah kita butuh suatu "Buffer Zone" atau area penyangga antara filsafat politik dan filsafat estetika, sehingga spektrumnya itu bisa utuh? Ataukah sebenarnya spektrum ini sudah utuh, dan yang kita butuhkan hanyalah Filsafat Politik dan Estetika saja, yang mana tidak ada buffer zone dan juga ganjalan di tengahnya. Lalu keduanya itu bergabung dan menyatu begitu saja antara Estetika dan Politik. Inilah sebenarnya suatu hipotesis yang coba penulis gali dan sampai sekarang belum menemukan semacam kesimpulan final-nya. Dan ini juga yang membuat penulis ragu-ragu untuk mengangkat topik tentang etika, karena penulis tidak yakin Etika itu sungguh-sungguh ada sebagai suatu prinsip filsafat, atau sebagai suatu wilayah kajian Filosofis yang mandiri. Memang bisa jadi dia muncul sebagai interaksi antara filsafat politik dan estetika, dan itu sangat terbuka ataupun sangat mungkin. Misalkan, ketika filsafat politik mendominasi estetika lalu kita akan memperoleh hasil seperti bagaimana, yang muncul itu adalah Etika.
Dalam hal tersebut sebenarnya kita bisa melihat bahwa tiga aliran filsafat
etika tadi itu bisa dipetakan dan bisa dijelaskan berdasarkan interaksi antara dua hal tadi yaitu filsafat politik dan estetika. Kalau filsafat politik itu mendominasi estetika, maka hasilnya adalah "Etika Kewajiban". Yaitu etika yang mengutamakan segala sesuatunya harus bisa di-universal-kan dan harus bisa menempatkan manusia sebagai tujuan. Juga lebih berurusan dengan bagaimana kehidupan bersama itu diselenggarakan daripada apakah sesuatu itu bisa dihayati atau tidak. Hal itu kan sebenarnya konsen-konsen politik daripada estetika. Jadi, sampai di sini bisa dilihat bahwa "Etika Deontologis" itu sebenarnya adalah suatu filsafat politik yang menginvasi ranah estetika. Seperti masuk lalu menduduki dan menjajah ranah estetika. Sebaliknya kalau kita lihat ketika estetika ini masuk menginvasi filsafat politik, itulah yang terjadi dengan "Etika Keutamaan", yaitu etika yang dibimbing oleh ideal-ideal subjektif yang sebetulnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Seperti hal-nya nilai-nilai moderasi atau sikap tak berlebihan, hidup hemat, tentang makna hidup, dan nilai-nilai yang dipilih secara sembarangan pun sebenarnya bisa. Tapi kemudian hal tersebut dibubuhi sesuatu semacam aura-aura magis atau Transenden sehingga kemudian semua orang seolah-olah harus melakukannya. Dan hal itu kan berarti estetika yang dibawa masuk ke ranah filsafat politik.
Jadi di sini bisa kita lihat bahwa ketika filsafat politik itu merangsek masuk ke wilayah estetika, menjajah estetika atau menjajah penghayatan pribadi orang, maka itu sebenarnya adalah "Etika Deontologis". Lalu sebaliknya, ketika estetika menjajah filsafat politik, maka itu adalah "Etika Keutamaan atu Virtue Ethics", yaitu suatu keadaan dimana segala sesuatu tindakan yang baik itu diukur berdasarkan suatu nilai-nilai yang sebetulnya merupakan perasan dari pengalaman estetik. Misalnya nilai-nilai tentang perlunya keberanian, sikap Ugahari (sederhana), sikap menahan diri, atau perlunya mengutamakan kepentingan orang lain, itu kan sebetulnya hal-hal yang sifat dan akarnya adalah estetik. Dan itu yang kemudian di-ekspor dan dijadikan dasar untuk merangsek masuk ke wilayah politik, lalu di-universal-kan karena itu harus dijalani oleh setiap orang. Walaupun padahal dia berangkat dari pengalaman estetik yang spesifik. Jadi disini kita melihat bahwa sebenarnya aliran utama dalam filsafat etika tersebut sebetulnya bisa dikarakterisasi sebagai cara kita mengatur spektrum antara filsafat politik dengan filsafat estetika.
Lalu bagaimana dengan aliran filsafat yang ketiga, yaitu Filsafat Konsekuensialis? Ini sebenarnya adalah suatu keadaan yang terwujud ketika wilayah filsafat politik dengan filsafat estetika tersebut digabung menjadi satu tanpa ada sisa. Dan hasilnya adalah Utilitarianisme. Yaitu ketika segala macam urusan "yang baik" itu didefinisikan berdasarkan dengan apa yang bisa kita hayati, apa yang bisa menyenangkan, tapi berlaku bagi sebanyak-banyaknya orang. Dari sini Filsafat Konsekuensialis sebenarnya adalah suatu cara untuk menggabungkan atau meng-kolaborasikan kedua spektrum tadi menjadi satu.
Jadi sampai sini kita bisa melihat bahwa "Etika" itu bukanlah konsep yang fundamental, atau bukan ranah penyelidikan filosofis yang mendasar. Dia adalah hasil dari bagaimana kita menata Filsafat Politik dan Filsafat Estetika. Atau saat kita mengacaknya dan mengubah-ubah susunannya, keluarnya adalah "Etika".
Jadi Etika adalah ketika Filsafat Politik dikurangi Estetika atau Estetika dikurangi Filsafat Politik, lalu hasilnya adalah Etika. Namun ketika keduanya bobotnya sama, atau ketika dikurangi jadi "nol" atau menjadi satu kesatuan maka itulah "Utilitarianisme". Jadi disini kita bisa melihat, sebetulnya kita tidak membutuhkan suatu displin pengkajian filosofis yang khusus untuk membahas etika. Karena gejala Etis itu sendiri bisa dijelaskan berdasarkan gejala yang lebih elementer, yaitu gejala Estetik dan gejala Politik. Tinggal bagaimana kita mengatur dari keduanya itu. Kalau kita rekombinasi keduanya hasilnya adalah satu versi tertentu dari Filsafat Etika.
Ini adalah hasil dari eksplorasi pemikiran yang sesungguhnya belumlah selesai, tapi silahkan didiskusikan lebih lanjut agar bisa ikut memperkaya tentang "apakah betul bahwa Etika secara prinsip itu Tidak Ada. Yang Ada adalah Estetika dan Filsafat Politik."
Ketika Etika Ekologika Memandang Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
Beralih kemudian, jika bicara tentang cara berpikir sesuai perspektif Etika di atas, dengan kacamata Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi namun dalam ranah membaca fenomena alam, ternyata Ilmu Pengetahuan dan Teknologi itu sendiri lahir karena faktor dari informasi empiris-empiris alam, dimana alam itu punya logikanya sendiri atau pengendalinya sendiri. Jadi justru sangat aneh dan rendah bilamana misalkan ada entitas yang meng-klaim menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tapi sekaligus mampu menguasai alam. Itu seperti kita sedang melihat tontonan kesombongan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena dari awal, ilmu pengetahuan cuma membaca dari informasi empiris alam. Misalkan "Isaac Newton", yang menulis rumus Hukum Gaya Berat (Gravitasi) Universal, itu hanya dari melihat Apel jatuh dari pohon ke tanah lalu menuliskan teorinya. Bukanlah sebaliknya, menulis Hukum Gaya Berat Universal dahulu, baru Apel dari pohon jatuh mengikuti teori atau rumusnya Newton.
Jadi dapat disimpulkan bahwa manusia menulis teori, Hukum, atau merumuskan ilmu pengetahuan dan teknologi itu "cuma" mencoba memahami Alam, bukanlah sebaliknya. Jadi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi itu "Tidak Bisa" menciptakan empiris alam. Dan dalam merumuskan sesuatu dari empiris alam itu sebenarnya membutuhkan syarat dan batas tertentu yang tidak dapat ditembus oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, padahal hal-hal yang tak dapat ditembus itu sudah melekat pada alam itu sendiri. Contohnya: "Mau ada Newton atau tidak sebenarnya fenomena Apel jatuh ya dari awal memang seperti itu. Hukum Gaya Berat Universal Newton sudah melekat pada fenomena apel jatuh, tanpa Newton menuliskan Hukum teorinya atau tidak. Bukan berarti Newton-lah yang menciptakan Hukum-nya, akan tetapi hukum itu sudah melekat pada fenomena apel jatuh. Newton hanyalah membaca fenomena-nya lalu menuliskan hukum-nya. Hanyalah menemukan teori, yang sebenarnya sudah ada dan melekat pada alam atau pada logika ekologi."
Jika semua itu di atas disimpulkan, seperti itulah cara berpikir "Etika Ekologika", dimana setiap kebijaksanaan manusia dalam memandang alam sebaiknya juga melihat empiris alam yang sudah melekat sejak tercipta. Dalam pertimbangan kebijakan, manusia secara etis sebaiknya melihat juga faktor empiris alam dan ekosistem bahkan juga faktor ekologi (berlandaskan disiplin Ilmu pengetahuan), yang sebenarnya ketiganya tersebut mempunyai logika-nya sendiri, sehingga kebijaksanaan tersebut mampu mengurangi dampak negatif bagi semua mahkluk, dan kehidupan tetap berjalan seimbang. Walaupun banyak manusia sekarang terbiasa untuk tidak seimbang, jadinya ketidak-seimbangan tersebut menjadi hal yang lumrah.
Mungkin cara pandang "Etika Ekologika" itu terlihat sia-sia atau bahkan terasa Naif bagi manusia modern sekarang ini. Tapi begitulah cara berpikir "Etika Ekologika" menurut yang penulis pikirkan atau lahirkan. Akan tetapi, seperti sebelum-sebelumnya penulis juga sebenarnya tak punya kuasa untuk melahirkan pemikiran tersebut. Karena jika diimajinasikan, janin yang dilahirkan penulis itu sebenarnya juga sudah melekat pada logika alam itu sendiri, jadi penulis juga tak punya kuasa apa-apa sebetulnya. Hanya sedikit membaca logika ekologi yang sudah ada, yang melekat di fenomenologi alam itu sendiri.
Lepas dari itu semua, penulis juga tak akan terbebani oleh pandangan "Etika Ekologika" tersebut apakah bermanfaat atau tidak. Walaupun menurut penulis, Etika Ekologika ini bisa cocok, pas, atau nyambung bila dimengerti oleh Manusia Nusantara. Karena memiliki kekayaan ragam budaya, adat istiadat, cara hidup, cara berpikir dan faktor Antropologi yang dekat dengan fenomena alam dan limpahan kekayaan alam, dan berbeda dari peradaban di belahan Bumi yang lain.
You must be logged in to post a comment.